32. Incaran

2.7K 410 17
                                    

Ketika senja kembali hadir menyambut malam, aku terpekik tidak percaya pada sebuah kemegahan di zaman kuno. Apa yang terpatri dalam pikiran, hilang begitu saja imajinasi istana yang tak seberapa.

Sesaat tubuhku membeku, kepalaku terpaksa menoleh pada Panji Gentala yang telah lebih dahulu melengang masuk. Diriku terbelalak kaget, tatkala puluhan atau mungkin ratusan prajurit sedang berbaris ditengah lapang.

Apa ini istana? Atau kamp militer? Tapi ku rasa yang kedua itu tak mungkin.

Aku berjalan pelan, menghampiri Panji Gentala tengah menungguku yang masih disergapi keterkejutan. Entah percaya atau tidak, hanya untuk melihat gerbangnya saja butuh mendongak. Dengan rupa candi bentar berdiri kokoh nan megah dengan ukurannya tidak kalah tinggi dari gerbang sebelumnya.

Melangkah masuk, sigap Panji Gentala mengaitkan tanganku dilengannya. Aku hanya bisa menatap tanpa berkata, memandang satu persatu para perwira nan gagah berbaris seakan menyambutku. Bukan diriku,- melainkan menyambut calon Raja Sumbhara.

Dengan keadaan kaki kanan bersimpuh, ratusan para perwira berbaris seakan memberi jalan pada sang putra mahkota. Meski ramai, semua diliputi keheningan. Para perwira itu pun tahu bagaimana menghormati keturunan raja untuk tak banyak bicara.

Salah satu perwira berumur paruh baya menghampiri Panji Gentala, berjalan gagah meskipun rambut putih telah tumbuh dikepalanya. Meski tampak terlihat tua, bagaimana ia memegang senjata berupa pedang dipinggang kirinya itu membuktikan bahwa umur bukanlah segalanya untuk dijadikan patokan.

Lelaki paruh baya itu berbisik, meski aku berdiri tepat disebelah Panji Gentala, tentu aku sama sekali tidak mendengar. Namun, respon yang terlihat Panji Gentala tampak geram mendengarnya. Tapi ia tak berkata apa-apa selain menarik tanganku memasuki istana nan luas ini lebih dalam.

Aku tak berani bicara, barang sedikit pun. Imajinasiku kembali mengkhayal bagaimana teknik ilmu senjata mereka ketika menyerbu bangsa mongol di Nusantara setelah kematian Raja terkasih Kertanegara? Sekiranya, itu yang ku tahu dari sepetik sejarah.

Setelah memerhatikan keadaan sanya sekitar tampak lengang, lebih dahulu aku menyikut lengan kekarnya. Dan berlari kecil upaya menyamakan langkahnya yang lebar.

"Sial, bisakah kakimu berjalan pelan? Aku ingin bicara padamu,"

Tidak lama demikian aku berkata, Panji Gentala segera menghentikan langkahnya. Mundur dua langkah seraya matanya tak lepas menatapku. Dengan sorot tajam, datarnya wajah terus melototiku.

"Ada apa?"

"Bicaralah, apa yang ingin kamu katakan?"

Aku berdecih gondok, membuang pandang menghindari tatapannya. Mengapa ia seperti perempuan sedang datang bulan? Sifatnya terkadang berubah-ubah.

"Aku hanya ingin bertanya, rencana apa yang kamu punya setelah ini? Mungkin aku bisa memban-"

"Tidak perlu, aku bisa mengatasi ini tanpa bantuanmu." Demikian ia berkata sembari menatap arah lain. He-hei, lelaki satu ini tidak merajuk'kan?

Ku tatap tubuhnya dari ujung kepala hingga kaki, memerhatikan rinci betapa kumuh serta kotor pakaiannya yang tak pernah ganti berhari-hari. Begitu pula denganku, membuatku berpikir apa para prajurit tadi tak merasa risih dengan tuannya yang jarang mandi ini?

"Maksudku, mungkin aku bisa membebanimu."

"Kamu tidak sedang merungut'kan? Jika iya betapa malunya dirimu dengan bocah lima tahun."

Panji Gentala segera melipat tangan didepan dada, netranya kembali membidikku tajam. Dengan suara dehamnya yang berat, aku kembali menatapnya seksama.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now