24. Janji

3.6K 573 35
                                    

Mencebik adalah ekspresiku saat ini yang terlihat, membayangkan betapa agulnya Cutaka memperlihatkan segala kelebihan. Untuk hari-hari sebelumnya aku tidak kesal apalagi marah, beranggapan bahwa itu sekedar kelakar. Namun semakin aku abaikan semakin menjadi-jadi, lantaran mulut manisnya yang cempala kian rancap menyamai tajam mata tombaknya yang selalu diasahnya setiap hari.

Betapa gondoknya aku karena persoalan sepele ini.

Aku bodoh heh? Belajar selama dua puluh empat semester masih dibilang bodoh? Apa gunanya aku belajar bertahun-tahun?

Dengan keadaan terpaksa kakiku melangkah menuju tempat yang tak ubahnya tempat tinggalku sementara. Berlari kecil diluasnya halaman takut-takut terpeleset akibat titisan hujan yang lebat.

Kepalaku menunduk, khawatir akan sakit meriang yang sering ku derita didunia nyata. Batuk tak tertahankan, juga deman selama tiga hari berturut-turut berakhir berupa kerokan. Aku terkekeh pelan seorang diri, mana ada sakit meriang dalam mimpi penuh halu ini?

Baru saja telapak kaki memijak siti hinggil, ku rasakan lengan kiriku tertarik kebelakang. Nyaris terjatuh jika saja tidak ada yang menopang punggungku tangkas. Perempuan ini masih terus saja menggrecokku!

"Hei! Masih tidak puas kamu mengejek-"

"Mengejek?" Aku mengerdip dua kali, menyadari yang dilihat bukanlah Cutaka. Sebentar, apa aku salah lihat?

Seakan tersadar ku hempas kasar tangan besarnya dari tubuhku. Keengganan menyeruak dalam diri untuk tidak bersitatap dengannya.

"Tidak sisa-sia Sanskara membuntutimu hingga kemari,"

"Apa?" Dasar penguntit.

Lelaki itu memasang seringai membuatku tidak keruan, lagaknya kian menjadi ketika melipat kedua tangan di depan dada. Ada sebuah kain berwarna abu bercorak fauna terselempang dari bahu kiri hingga pinggang kanannya, terikat erat melekat ditubuh kekarnya yang berotot.

"Sudah lama tidak berjumpa, kamu jadi tuli ya?" Sindirnya, sambil berkacak pinggang.

Pakaianku telah basah kuyup, kembali tersadar bahwa langit masih belum menghentikan tangisnya membuatku segera bergegas masuk ke kediaman. Namun sialnya, lelaki itu mengikuti dengan gayanya berupa mengongkang-ongkang kaki.

Diriku berpikir keras, bagaimana bisa kembali bertemu dengannya? Delusi yang ku alami malam lalu kembali terbayang dalam ingatan. Sial, bagaimana kalau insiden itu benar-benar terjadi? Bagaimana kalau ia akan benar-benar terbunuh olehku?

"Pergilah, aku tidak mau bertemu denganmu." Untuk membuka poin lebih dahulu, mau tak mau harus siap diriku mengatakan. Apa yang dituturkan baru saja ku yakin ia mengerti kemana arah pembicaraan berlangsung, tapi sepertinya raut wajahnya belum beralih dari mimik penuh pringas-pringis itu.

"Bagaimana jika aku sangat rindu padamu?" Tanpa saring, ia melontar tanya kelewat sembrono.

"Sungguh tidak malukah dirimu di kediaman perempuan seperti ini? Huh!"

"Seperti apa? Bukannya kamu memang istriku? Adinda?" Tanyanya, disertai senyum tipis tampak mengganggu.

Huh? Apa yang dikatakannya benar-benar halu!? Luar biasa sial, jika terus begini pipiku lambat laun memerah seperti tomat.

Seling beberapa menit aku terpekur, lantas membuang muka ke segala penjuru ruang. Dengusan napas kasar terdengar, menduga bahwa yang mengaku sebagai suamiku kini tengah meredam kekesalannya yang merabung.

"Baiklah," Lagi-lagi mengembus napas keras menjeda kalimat yang tertunda. Tidak ingin tahu gelagat jenis apa ingin ditunjukkannya padaku, aku berbalik badan menjauhinya dengan tenang. Meski sangat kontra apa yang tengah dirasa perasaanku kini.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now