IV. 31. Bersamanya

3.2K 474 20
                                    


Ada beberapa hal yang baru ku sadari dalam perjalanan hidup penuh kehaluan ini, bahwa rasa kasih tak pernah lepas sekalipun terhadap orang yang sama sekali tidak dikenal. Lalu, bagaimana bisa rasa kasih bersamaan rasa suka itu tumbuh?

Bagiku, akan menjadi sebuah perdebatan panjang bila harus memilih dan kekeuh untuk tak bisa menerima takdir yang kapan pun bisa berubah. Entah diriku harus bersyukur atau tidak, sekiranya kehadiran Panji Gentala tidak membuatku merasa kesepian. Ditambah, tingkah lelaki itu yang terkadang menahan gengsi membuatku sedikit menahan tawa.

"Aku tidak pernah menyimpan rasa suka terhadap perempuan, Awisa." sebuah cetusan kalimat muncul dari bibir tipisnya, gerakannya yang tegas saat berjalan sedikit tak bisa ku percaya sanya ia akan membahas hal-hal yang menurutku sepele.

"Benarkah? Apa aku harus bangga karena itu?"

Kakiku terus berjalan mengikuti langkahnya, terus mengulas senyum mengamati punggung kekar Panji Gentala amat menggoda untuk ditatap. Mengapa orang kuno jauh lebih menarik daripada orang modern, sih?

Kejadian semalam kembali menghadirkan sejemang rasa senang, nyaman, sukacita, bahkan sedih bercampur aduk menjadi satu. Bagaimana ia merangkulku penuh kasih, mendekapku agar tak kedinginan. Menimbulkan kekehan kecil berasal dari bibirku.

Mengapa cinta semanis itu? Apa itu sebuah realita yang terjadi pada kisah cinta semua makhluk?

Duk!

Dalam keadaan menunduk tubuhku tanpa sadar menabrak punggung Panji Gentala, lelaki itu mengehentikan langkah bertepatan kedua mata bak elangnya memandang tempat ramai dari kejauhan. Berada jauh dari kami yang berada diketinggian, apa itu Ibukota yang dimaksud Panji Gentala?

"Apa tubuhmu masih sanggup berjalan?"

Sedikit mendongak upaya melihat raut mukanya, namun tak ada perubahan selain rasa tegang bercampur geram tesemat disana. Meyakini, kedua tangan Panji Gentala mengepal tanpa sadar.

"Pa-panji gentala. Te-tenanglah. Semua akan terbayarkan setelah kita mengetahui apa yang terjadi semua ini."

Panji Gentala tak menjawab, lelaki itu lebih memilih menarik pergelangan tanganku untuk terus turun mengikutinya. Berbelok kanan tepat disana terdapat tangga dari bebatuan yang menurutku sedikit curam untuk dilewati.

Aku melangkah mundur, secara tersirat mengatakan aku tidak menyetujui karena ketakutanku pada ketinggian. Dan seperti keadaan sebelumnya, Panji Gentala tak membalas selain menurunkan tubuhnya memberi kode untuk segera naik ke punggungnya yang lebar.

"Kamu yakin?"

"Tidak apa, naiklah. Percaya padaku."

-

Masih dengan keadaan menyusuri hutan tiada henti kedua bola mata berpendar menejelajahi sekitar. Ditemani kicauan burung, tak menghentikanku untuk merasa waspada meski tanpa keheningan yang mengganjal. Rasanya kejadian malam lalu baru ku tempuh beberapa waktu detik saja, mengingat kejadian Cutaka bersama lelaki bernama Wasa.

Apa dunia kuno serumit ini upaya menuruti hasrat mereka?

Merasa, ada beberapa alasan setelah dipikir baik-baik mengapa mereka melakukan itu. Terutama pada Cutaka yang mungkin saja terlalu menyimpan rasa bencinya pada Sanskara, entah itu nyata atau tidak. Hal-hal yang pernah dikatakannya padaku tentang kekasihnya bisa saja itu benar, kapan pun bisa timbul rasa dengki sekalipun ada rasa cinta yang tumbuh.

Sedangkan Wasa... Lelaki itu pasti mempunyai masa lalu kelam mengenai cintanya. Hingga sadar atau tidak, ia memanggilku dengan sebutan Dyah. Apa perempuan yang dicintainya itu telah tewas?

Cinta Bertakhta [TAMAT]Where stories live. Discover now