5. Dipermalukan

7.9K 966 27
                                    

Cahaya silau menerpa wajah, berusaha ku halau dari pandangan mata. Sangat menyebalkan, disaat tertidur pulas ada saja hal yang mengganggu.

Kedua mata terbuka perlahan, menyipit ketika sinar cahaya dari celah bambu masuk ke dalam retina. Amat mengganggu. Merutuk diri karena kesalahanku tertidur tepat menghadap ufuk timur.

"Hei! Nyisanak! Bangun! Ayam sudah berkokok dan kamu masih tidur layaknya ular?" Seseorang berteriak tak jauh dari hadapanku. Aku berusaha mengumpulkan nyawa, bersandar diri pada dinding bambu. Sedikit meringis akibat tubuh penuh pegal-pegal karena tidur yang kurang nyenyak juga salah posisi.

Aku menatap sekeliling, sejenak lupa bahwa aku menjadi tawanan sekelompok gadis yang tak ku kenal. Lalu aku meminta tolong pada seorang lelaki untuk membantuku keluar dari bui yang tak indah ini.

Lelaki?

Ah! Laki-laki itu! Kurang ajar, aku minta tolong padanya. Dengan sangat tidak bertanggung jawab, justru keluar ruangan membiarkanku mencerna kalimatnya sungguh membingungkan.

Padahal, aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak tidur sebelum terbebas dari jeratan orang-orang aneh ini.

Aneh? Ya, ku anggap begitu. Menangkap ku tanpa sebab, tanpa alasan yang jelas. Kecurigaan yang hanya diduga-duga.

Setelahnya, ada seseorang kembali masuk. Suara pintu terbuat dari bambu begitu nyaring saat tak sengaja bersentuhan hingga menghasilkan suara yang khas.

"Diajeng, sebelumnya mohon maaf. Aku harus menotok mu semalam." Ia masuk, sembari membawa yang ku duga sarapan pagi. Berjalan dengan tatapan menunduk, Aku merespon berdecih sebal.

"Aku sudah tidak lagi memercayaimu, bahkan terlalu berharap padamu diriku terbebas malam itu." Cetus ku. Kulihat tampaknya Ia sedikit gugup. Apa yang membuatnya seperti itu?

Tak lama dua orang lelaki masuk, mereka memakai gaya pakaian yang tak asing menurutku. Seperti ada pada acara pewayangan. Sepasang kelat bahu begitu indah terpasang di lengan nan kekar. Rambut mereka digelung rapih di atas kepala dengan kain berwarna cokelat, ada pula yang kuduga sebuah senjata tajam berupa keris berlenggak-lenggok ganjil dengan bagian runcing di bagian ujungnya. terikat di pinggang kiri masing-masing.

"Mohon maaf kisanak, Anda diminta menghadap kepada Raden Panji Gentala." Ujarnya tegas, aku melihat orang gugup itu, dia hanya diam tak berkata-kata. Jangankan bicara, bergerak pun sepertinya enggan.

Aku ditarik paksa, kemudian bangkit dan segera keluar dari bangunan bambu yang begitu pengap menurutku. Berjalan agak jauh menuju bangunan dengan atap berbentuk limas tanpa dinding, dihiasi ukiran kayu bangunan yang tampak elok. Lalu menekuk lututku secara paksa menempel pada kayu jati dengan permukaannya yang halus sebagai alas bangunan. Seseorang berdiri tak jauh dariku, dengan tatapanku yang lancang aku menduga itu pimpinan mereka. Ku terus pandangi secara terang-terangan tanpa menyimpan rasa hormat, masa bodoh tentang hal itu. Jika pun tak salah namanya Panji Ketela. Cukup aneh.

Ia membelakangiku, postur tubuhnya tegap. Mulai dari punggung kekar hingga pinggang yang tampak eksotis, rambutnya sama seperti yang lain. Digelung rapih, yang membedakannya ialah sebuah tembaga keemasan sebagai tali ikat rambut. Lengannya yang kekar begitu menggiurkan dengan warna cokelat kulit, terpasang kelat bahu menambah kesan gagah perkasa juga tampil layaknya bangsawan.

Ya Tuhan, aku tetap cinta Shawn Mendez!

Aku menunggu detik-detik berikutnya yang terasa memakan waktu, semakin lama aku menunggu semakin banyak jumlah orang-orang yang kini datang dan melihatku seakan aku adalah seorang nara pidana yang ingin dieksekusi. Menyebalkan.

Aku mendengus begitu pimpinan mereka berbalik badan, menatapku dengan mata menyipit. Sayangnya, dia laki-laki sangat tampan khas Nusantara menurutku. Benar-benar tampan dengan rahang tegasnya. Tapi, bila ku lihat lebih jeli lagi sepertinya aku begitu familiar.

"Kamu-"

"Dasar gadis tidak tahu diri." Ujarnya, memotong kalimatku. Aku mencoba bangkit lalu menghajarnya telak, sayangnya pengawal yang tepat berada di kanan-kiri ku memegang pundakku kasar, aku kembali ke posisi semula.

Memandang sekeliling. Semua orang menatapku seolah aku adalah biang masalah yang harus cepat di selesaikan. Aku aib bagi mereka.

"Dyah Ayu, kemarin lusa aku mendengar kamu menawan gadis ini. Bisa kamu jelaskan alasanmu?" Lelaki yang pernah kutemui itu bicara, menatap seorang perempuan yang kulihat kemarin menangkap ku tanpa alasan jelas. Dia jongkok sembari tumit kaki di jinjit, kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Kurasa sebagai tanda hormat kepada pimpinan mereka.

"Sendika dawuh, Raden. Hamba melihatnya di atas bukit, melihat bagaimana cara berpakaiannya yang tak sopan. Jelas dia telah melanggar aturan, juga dialek bahasa yang hamba tidak ketahui dari mana ia berasal. Hamba memutuskan untuk segera membawanya kemari." Jelas Dyah Ayu, dalam posisi dengan kedua tangan dirapatkan di atas kepala.

Orang yang di sebut Raden itu menganggukkan kepala, tatapannya yang tajam nan menusuk itu mengarah kepadaku. Tatapannya begitu mengintimidasi, tapi aku tak perlu takut. Toh, aku tak bersalah atas kesalahan apapun.

"Jika benar apa yang dikatakan Dyah Ayu, bisa kamu jelaskan berasal dari mana tempat tinggalmu?" Dia bertanya padaku, kedua tanganku diikat sedemikian kencang. Sulit bagiku untuk melepaskan diri, aku ingin menghajar mereka yang telah menangkap ku. Pertanyaan amat sulit menurutku, percayakah mereka bila aku berada di masa jauh lebih modern dari zaman ini?

Ku tatap mereka satu-persatu, terutama  Dyah Ayu yang juga memandangku penuh rasa puas terpampang di wajahnya yang jelita. Lalu berpindah pada wajah Raden Panji, sama halnya menatapku. Hanya saja tanpa ekspresi, sulit menebak apa yang tengah dipikirkannya.

"Jika aku bukan berasal di zaman ini, apakah kalian percaya? Jika aku berasal dari daratan ini tetapi jauh setelah kalian mati kalian percaya? Apakah kalian percaya jika pemerintahan yang sedang di jalani ini akan runtuh dan berdiri sebuah negara baru? Percayakah kalian?"

Aku berujar tegas, mengeraskan suaraku melebihi orang-orang disekitar yang tengah berbisik. Mereka menatapku seakan guyonan. Kemudian beberapa diantaranya tertawa, dan sebagian besar mencaci-maki seolah aku penuh khayalan. Penuh dengan omong kosong.

Aku mendesis sebal, orang-orang seperti mereka tidak tahu apa-apa yang telah terjadi di zamanku. Manusia modern juga cerdas, bisa membuat sesuatu dan memanfaatkan hasil karya yang telah di buat. Mereka tak akan percaya jika bertemu sebuah pesawat terbang, mungkin jika melihatnya mereka akan menyembah dan menyebutnya sebagai dewa. Atau mungkin lebih dari itu.

Aku tertawa sinis, mereka tak hentinya menertawaiku. Hal ini menjadikan suasana semakin terasa gerah walau masih ada kehadiran embun pagi, aku benar-benar tak dihargai.

"Aku yakin, kamu seorang lacur, hal itu semakin jelas bagaimana cara berpakaian mu." Cetus salah seorang perempuan tepat berada di sisi kiri tak jauh ia berdiri, diiringi tawanya yang renyah. Diriku sendiri tak yakin pakaian apa yang ku kenakan ini benar-benar pakaian, penampilan yang sangat kuno. Ditambah penampilan rambutku yang mungkin terlihat kacau, ikatan rambut terbuat dari kain pula sulit dipakai.

Sembari mendengar perkataannya aku melihat pakaian yang ku kenakan. Luar biasa sial, bahkan aku pun baru menyadari memakai potongan rok jarik sebatas paha. Yang ku ingat terakhir kali karena aku bertengkar dengan-

Dia! Laki-laki tengah berdiri tepat dihadapanku! Sial, mengapa aku baru ingat sekarang? Dasar payah.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang