12. Serupa

5.3K 787 17
                                    

Ketika bulan sudah tak lagi tepat diatas kepala, tidak membuatku pantang menyerah berlari di temaramnya cahaya purnama. Langkah kaki yang tak beralas memijak kasarnya tanah akibat tusukan-tusukan reranting bahkan kerikil kecil di sepanjang jalan.

Lebatnya pohon tidak menghalangi niat untuk terus mencari, memeriksa setiap bangunan yang rupanya nihil tak ada satupun orang. Bentuk bangunannya serupa, hampir membuatku keliru. Alasnya tersusun batu-bata mencapai satu meter, dengan masing-masing batuannya memiliki lebar sekitar satu tulang hasta dan tinggi mencapai ukuran satu jari tengah. Benar-benar identik.

Mustahil rumah sebanyak ini tak ada penghuninya.

Bertepatan cahaya obor bambu didepan mata, kedua kakiku terhenti seketika. Bola mataku fokus pada satu titik, menelusup lebih dalam mengamati seseorang yang ku kenal, dibalik jendela dari kusen bambu sosok itu sedang bercengkrama. Siapa gerangan?

Kemben yang sudah tak lagi rapi, tak kupedulikan. Terus melangkah perlahan, mendekat tanpa suara upaya tidak menimbulkan rasa curiga. Mengendap layaknya pencuri menguping seperti tetangga haus akan gosip.

Tidak salah yang sedang ku lakukan, bukan?

Tunggu,

Pakaian jarik pinggang, diikuti ikat udeng berwarna hitam yang khas semakin menambah eksistensi keyakinanku bahwa dia adalah,

Sanskara?

Benarkah itu? Namun lawan bicara tanpa gelagat sembari duduk juga dirasa familiar menurut ku. Tapi, benarkah dugaan yang sekian kali tak salah? Bagaimanapun, di gelapnya malam siapapun bisa salah melangkah akibat tak jelasnya pandangan. Apalagi seseorang? Seberkas cahaya dari dalam rumah tersebut pun turut tak membantu.

Beberapa menit lamanya aku berdiri menunggu,-entahlah. Yang terpikirkan oleh otakku saat ini membuntuti orang tersebut apa yang akan dilakukannya, diwaktu bersamaan sang lawan bicara tampak bangkit membenahi diri.

Mereka berjalan menuju keluar rumah, berbincang dengan segenap langkah gagah. Hingga di penghujung teras, lelaki dengan gelagat kaku itu pun menepuk pelan pundak sang empu. Lalu bergegas meninggalkan laki-laki sepertiga mirip Sanskara itu.

Tidak lama, sang empu berbalik badan seraya melepas ikat udeng yang menutupi surai bahunya, kembali memasuki rumah diselingi terbatuk kecil. Sesaat aku ingin menghampiri, demi mengajukan beberapa pertanyaan hampir membuatku gila. Memarahinya serta mengatakan bahwa ucapannya beberapa hari lalu itu terwujud, aku tersiksa akibat kejanggalan serta kecurigaan yang ku alami. Tak urung menginjakkan kaki didepan pintu, seseorang membekapku.

Sialan! Siapa pula melakukan hal ini?

Tenaganya luar biasa besar, memberontak sekuat tenaga seakan aku bukanlah tandingannya. Menyeretku menjauhi rumah tersebut, tak serta merta menutup kedua mataku dengan seutas kain tebal terpasang ketat. Mencari celah upaya melarikan diri rupanya tak bisa dilakukan, berteriak pun sang lawan telah lebih dahulu menekan tenggorokan ku. Alhasil napasku teramat sesak.

"Diamlah, bukan saatnya dirimu melampiaskan amarah." Ujarnya dengan nada rendah, suara seorang lelaki tak dikenal namun terasa familiar untukku. Sungguh, siapa gerangan pelaku bertindak hal sepengecut ini? jika aku terbebas darinya kupastikan kedua matanya hilang dari tempatnya. Persis apa yang tengah dilakukannya kini.

"Kamu hanya orang baru disini, tidak sepatutnya kamu bercampur tangan, lebih baik ikut aku dan bicarakan ini baik-baik." Pungkasnya, mengakhiri. Dalam posisi berdiri aku diam tak berkutik, setelah orang tersebut menyentuh disekitar tulang selangka dengan dua ketukan jari. Lalu diangkat dibahunya yang lebar. Baiklah, akan dikemanakan diriku kali ini? Benar-benar memalukan, punya ilmu karate pun amat tak ada guna untuk melindungi diri sekalipun.

Tak lama, kedua mata tertutup perlahan akibat hadirnya rasa kantuk.

-

Kokok ayam mulai mengusik gendang telinga, embun asap mulai menyambut pagi buta. Walau begitu, belum ada sedikit pun sinar sang surya menunjukkan kehadirannya. Hanya bulan masih menerangi gulitanya malam.

Sesaat aku terbangun, dalam diam kedua mataku mengamati. Sekalipun tampak remang tak membuatku pasrah akibat rasa penasaran yang meliputi. Bola mata tak hentinya menjelajahi semua yang ada, suasana terasa familiar ketika letak posisi barang pun seperti tak asing untukku. Mengingatkanku akan tempat kali pertama bangun dari mimpi kepada mimpi. Lagi-lagi menduga bahwa gubuk ini adalah miliknya, siapa lagi jika bukan Raden Panji? Tak menyangka Sanskara memiliki hubungan dekat dengan sang Tuan, walaupun Sanskara sendiri hanya seorang anak abdi dalem.

"Sudah bangun rupanya, ada apa denganmu semalam?" Mencari sumber dari mana suara itu berasal, terpusat disalah satu sudut gubuk dengan percikan tungku yang menyala. Aku menyipit mata, rupanya Sanskara, kali ini tak ada ikat udeng yang melilit kepalanya. Memperlihatkan surainya turun ke dahi, tak serta merta menampilkan wajahnya yang tampan khas Nusantara ini, tak kalah saing dengan Raden-

Baiklah, aku sedikit membencinya sekarang. Sejak kapan aku memerhatikan penampilan seseorang? Persetan tampilan sekalipun.

Jadi, yang membopong ku kemari adalah Sanskara? Keterlaluan!

Aku menatap sengit, Dalam hati aku kembali mengingat akan janji untuk segera menuntaskan semua pertanyaan yang hinggap dalam benak. Meluruskan semua hal yang terjadi, dan menyelesaikannya secara patut.

"Kamu luar biasa sialan, Sanskara." Dengan wajah bantal serta kesadaran yang sepenuhnya belum pulih, ku paksakan berjalan mendekatinya. Bangkit dari tempat pembaringan diiringi raut kesal tak terbendung. Lebih-lebih membuatku darah tinggi ketika responnya yang diberi seperti biasa, lelaki itu membungkuk dengan kedua tangan mengapit diiringi seringainya yang menyebalkan.

Aku mengepal tangan erat, ada dua hal yang ku sesali darinya. Pertama, perkataannya yang luar biasa nyata terjadi membuatku hampir mati akan kekeliruan. Dan kedua, berani-beraninya ia membopongku yang faktanya seorang gadis hanya dengan dibalut kain jarik.

Tak masalah, anggap diriku berlebihan. Tetapi apa yang telah dilakukan tak sepatutnya, Siapa pula Sanskara seberani itu untuk bertindak!?

"Apa gerangan hingga ndoro putri tampak marah? Apakah hamba telah melakukan kesalahan?" Balasnya, sembari berdiri. Dengan berperut tangan, ia menatapku penuh senyum ramah.

Lakonnya benar-benar handal.

Aku menamparnya, tetapi sebuah tangan kekar mencegat ku untuk bertindak kasar. Aku melirik tajam, mendapati Raden Panji membalas tatap serupa. Ia menggeram tak suka.

"Kamu perempuan, mengapa se-kasar ini." Ujarnya, menarik tanganku. Aku merespon dengkus, tak peduli apa yang tengah diucapkan. Selagi dia tak melakukan suatu hal tak wajar kepadaku aku baik-baik saja.

"Penyebabnya tak lain adalah karena dia telah membopong ku, sangatlah tak sopan tuanku Raden Panji. Tidak tahukah kamu?" Sarkasku, mendelik tajam. Namun lucunya disambut dengan tawa remeh, kemudian menaruh kedua tangannya di depan dada.

"Oh, masih mengerti pula dirimu akan sopan santun?," Balasnya tak kalah sengit. Membuatku terpacing amarah, napas ku mulai tak beraturan. Bahkan rasa pening mulai melanda.

"Lagi pula yang membopong mu bukanlah Sanskara, tetapi aku." Tepat setelah mengucap kata, aku segera meninjunya tepat di ulu hati. Lagi-lagi terhindar karena gerakannya yang tangkas. Ini tidak bisa dibiarkan, jangan sampai lelaki sepertinya kembali melecehkanku sama halnya di awal kali pertemuan.

Cinta Bertakhta [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang