Entah kenapa asal mendengar atau mengingat sesuatu yang berhubungan dengan Ilham, aku merasa sangat kesal dan marah. Emosiku mulai muncul dan itu jelas membuat moodku menjadi jelek.

Mungkin ini yang dimaksud dengan perasaan dendam, sebab aku merasa emosi negatif asal berpikiran tentangnya. Di sisi lain, itu menjadi sebuah motivasi bagiku untuk mengembangkan kemampuan supranaturalku. Dengan semangat aku melanjutkan penjelajahanku melalui internet.

Setelah berjam-jam aku menjelajahi internet, aku mencoba untuk menghubungi beberapa praktisi yang berada di Jakarta. Hingga beberapa saat kemudian, dari beberapa praktisi yang kuhubungi, ada salah satu praktisi yang menjawab pesanku.

Aku mencoba bertanya mengenai beberapa hal supranatural untuk mengetahui lebih dalam tentang dirinya, dan pastinya untuk memastikan apa dia benar-benar seseorang paranormal yang terpercaya.

Hingga pada akhirnya dia menyuruhku untuk datang ke lokasi dan mengikuti kopi darat alias kopdar di suatu cafe bersama beberapa orang lainnya. Kebetulan beberapa minggu lalu, mereka sudah merencanakan untuk bertemu dalam tiga hari lagi.

Aku cukup tertarik akan ajakannya, tetapi pertama-tama, aku langsung menanyakan mengenai biayanya. Aku sadar akan kondisi finansialku, aku hanya seorang mahasiswa yang masih bergantung akan pemberian dari orangtua. Untungnya, dia tidak meminta tarif biaya apapun, dia hanya akan memberikan tarif jika aku memaharkan salah satu jasanya.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menerima ajakannya, sebab aku merasa apa yang dikatakannya rata-rata logis dan masuk akal bagiku. Penjelasannya juga masih dapat kumengerti dengan mudah. Semakin lama aku berkomunikasi dengannya, aku merasa semakin berharap banyak dari pertemuan kami nantinya.

Hingga tak terasa, jam di layar ponselku sudah menunjukkan angka tiga. Aku tak menyangka telah menghabiskan banyak waktu di depan layar laptopku sejak tadi. Karena sudah larut malam, aku memutuskan untuk langsung berbaring di atas kasurku. Tak membutuhkan waktu yang lama, aku mulai tertidur dengan lelap. Mungkin tubuhku masih terasa lelah dikarenakan efek perjalanan pulang dari liburan di Bandung.

<><><>

Saat aku terbangun dari tidurku, aku merasa suasana yang sangat sepi di kosku. Tidak ada suara ribut dari aktivitas penghuni kos lainnya, sebab sepertinya mereka sudah pulang ke kampungnya masing-masing. Suasana sepi ini berhasil membuatku diam termenung, dan entah kenapa aku menjadi memikirkan tentang Adellia.

Aku ingin mendengar suara merdunya dan memandang wajahnya secara langsung. Perlahan aku mulai menyadari, bahwa Adellia sebenarnya tidak melakukan kesalahan. Dia berhak untuk menolak pengakuanku.

Yang sebenarnya menjadi sumber masalah adalah diriku sendiri. Aku masih bersifat kekanak-kanakan, dan tidak bisa menerima kenyataan yang sesungguhnya. Pikiran yang jernih akhirnya membuatku tersadar akan kesalahanku. Oleh sebab itu aku pun berniat untuk menemui Adellia secara langsung.

Saat aku mengecek jam di ponsel, ternyata saat itu sudah jam tiga sore. Aku tak menyangka aku telah tidur hampir seharian, tanpa berpikir panjang aku langsung cepat bergegas mandi. Sehabis mandi, aku berencana untuk menemui Adellia di kosnya. Tak memakan waktu yang lama, akhirnya aku selesai mandi dan langsung bergegas pergi menuju depan kos Adellia.

Saat di sana, aku melihat kondisi sekitar yang sangat sepi. Di sana, tidak ada satu pun orang bahkan untuk sekedar lewat saja. Aku pun tetap menunggunya di depan. Aku tidak langsung masuk karena rasanya tidak sopan jika masuk ke kost-an wanita tanpa izin.

Tak terasa, sudah belasan menit berlalu tetapi masih tak ada orang yang muncul. Akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada Adellia. Setelah menunggu balasan pesan darinya, hingga memakan waktu kurang lebih dua puluh menit, Adellia masih tak kunjung membalas pesanku.

Sesaat kemudian, ada seorang wanita yang keluar dari pintu kos. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menanyakan tentang keberadaan Adellia.

"Maaf mbak, bisa numpang nanya gak?" tanyaku dengan sopan.

"Oh, bisa. Emangnya mau nanya apa, ya?" balasnya.

"Adellia ada di dalam kos gak, mbak?" tanyaku.

"Hmmm, kemarin sih ada, tapi hari ini aku nggak ngeliat dia nongol tuh," jawabnya ramah.

"Oh, bisa bantu buat ngecek sama panggilin dari kamarnya nggak mbak?" tanyaku dengan penuh harapan.

"Oke sebentar, ya. Masuk aja dulu mas, duduk di ruang tamu," ucapnya mempersilakanku.

"Gapapa mbak, saya di sini aja nunggunya," balasku sambil tersenyum kecil.

"Oh, ya udah, mas." Dia lalu pergi masuk ke dalam kos.

Setelah menunggu dalam kisaran waktu kurang lebih sepuluh menit. Akhirnya wanita itu muncul dan langsung mendekati posisiku.

Dia lalu berkata, "Ga ada respon dari kamarnya, mas."

"Tapi tadi orang di kamar sebelahnya bilang, kalo Adel pergi bawa koper tadi pagi," lanjutnya.

Apa yang kutakutkan pun terjadi, aku tak menyangka Adellia sudah berangkat pergi ke Surabaya. Sepertinya kami telah ditakdirkan untuk berpisah tanpa bertukar kata. Aku seketika merasa menyesal karena tidak meresponnya kemarin.

"Makasih udah mau bantuin ya mbak, maaf udah ngerepotin," ucapku lesu.

"Sama-sama mas, saya pergi dulu, ya." Dia lalu melewatiku yang diam termenung di depan kos.

Aku mulai merasa kosong dan lesu, hanya diam berdiri di depan kosnya sembari menghela nafasku dengan panjang. Menyesali sesuatu yang takkan bisa terulang kembali dan mengutuk kebodohanku sendiri.

Tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana, hanya untuk menunggu balasan pesan darinya. Hingga akhirnya matahari mulai terbenam dan kegelapan perlahan menyelimuti, tetapi balasan pesan dari Adellia tak kunjung tiba. Walau merasa sedih dan frustasi, entah kenapa terbentuk senyuman kecil di bibirku.

Perlahan aku menyadari, jadi ini yang dimaksud dengan pepatah, "Penyesalan itu selalu datangnya terlambat."

Bersambung ...

Awakening - Sixth SenseWhere stories live. Discover now