12. Menikmati Momen yang Langka

578 53 3
                                    

"Eh, kok kamu bisa ada di sini, Del?" tanyaku kaget seperti orang yang telah kepergok selingkuh.

"Aku dari tadi nyariin kamu Ram. Tau-taunya lagi enak berduaan di sini," ucapnya dengan ekspresi jengkel.

"Emangnya ada perlu apa, Del?" tanyaku lagi.

"Emangnya harus ada yang perlu baru bisa nyamperin kamu?" jawabnya balik.

Sepertinya aku salah bertanya. Aku bingung dengan sikap yang ditunjukkan Adel, antara aku yang terlalu percaya diri atau salah sangka. Aku merasa dia sedang cemburu saat aku sedang bersama Riska.

Aku kikuk dan tak tahu mau membalas apa, sedangkan Adel menatapku dengan ekspresi datar. Jujur, aku merasa ekspresi datarnya lebih menakutkan daripada ekspresinya saat sedang marah. Aku tak bisa menebak apa yang ada dipikirannya saat itu. Jadi lebih baik aku diam dan menunggu saat yang tepat untuk merespon.

"Halo Adellia, maaf ganggu. Kalo boleh tau, apa kalian berdua lagi pacaran?" tanya Riska tiba-tiba.

"NGGAK KOK!" ucap kami berdua secara serentak.

Riska hanya tersenyum melihat reaksi dariku dan Adellia. Sementara itu, kami berdua malah menjadi salah tingkah. Aku merasa sangat malu, dan ingin secepatnya pergi menghindar dari sana.

"Yaudah deh, aku pergi dulu ya, Ram. Makasih banget buat bantuannya tadi," ucap Riska sembari mengedipkan salah satu matanya.

"Ehh, iya sama-sama kak," balasku dengan canggung.

Setelah Riska pergi meninggalkan kami, Adellia pun mengajakku untuk makan bersama di kantin. Saat berjalan kami berjalan ke kantin, entah kenapa suasana makin terasa canggung. Sepanjang perjalanan menuju kantin, kami berdua tak berbicara sama sekali. Kami hanya menatap satu sama lain sesekali, layaknya dua sejoli yang sedang curi-curi pandang. Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan hal aneh seperti ini, akibat telah menjomblo sepanjang hidup. Sesampainya di kantin, aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai percakapan.

"Del, mau sampai kapan nih kita diem-dieman?" tanyaku sambil menatapnya matanya dalam-dalam.

"Hmmmm, tau ah Ram, aku lagi bete," balasnya sambil manyun.

"Sorry, Del," ucapku pelan, walau sebenarnya aku tak mengerti mengapa aku harus meminta maaf.

"Sorry buat apa Ram? Emang kamu ada buat salah?" tanyanya datar seakan tak terjadi apa-apa.

"Gapapa del, cuma mau bilang sorry doang, kok." ucapku sambil menggaruk kepala. Daripada semakin ruwet, aku memilih untuk mengalah saja.

Melihat responku, senyuman mulai tersungging di bibir Adellia. Matanya memandangku dengan tatapan kemenangan. Mungkin ini yang selalu disebut orang-orang, kalau wanita pasti selalu benar.

Saat di kantin, seperti biasanya kami hanya mengobrol santai, entah itu membahas film, kuliah, supranatural dan berbagai macam topik lainnya. Tak terasa kami menghabiskan waktu yang cukup lama disana, akhirnya kami beranjak dari kursi dan keluar dari kantin. Setelahnya kami pergi pulang bersama.

Saat sedang diperjalanan pulang, lagi-lagi kami dicegat di tempat yang sama saat aku berkelahi dengan Arif. Tempat ini selalu menjadi saksi akan masalah-masalah yang kuhadapi belakangan ini. Berbeda dengan yang kemarin, saat ini ada delapan orang yang bergerombol menghadang kami.

Tampak David yang berdiri ditengah, bagaikan boss diantara para anak buahnya. Di sampingnya berdiri orang yang tidak asing lagi bagiku, dia adalah Arif si cempreng. Dia memandangku dengan senyuman licik dan puas. Ternyata dia masih dendam akan hal yang terjadi saat ospek kemarin, pikirku.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang