58. Pesugihan

405 34 2
                                    

Sudah sebulan berlalu semenjak Adellia telah memutuskan hubungan pertemanan kami. Sejak hari itu, aku dan Adellia tak pernah berkomunikasi lagi. Walau kami sering berpapasan di kampus, Adellia selalu saja tak menghiraukanku. Hubungan kami yang sekarang, bagaikan dua orang yang tak pernah mengenal satu sama lainnya.

Satu bulan itu terasa sangat panjang bagiku. Hari demi hari aku selalu mengingat setiap ucapan dingin yang diutarakan Adellia. Makin hari, rasanya semangat hidupku makin memudar.

Orang-orang yang di sekitarku pun selalu menanyakan keadaanku. Mereka juga berusaha menghibur dan menyemangatiku, terutama Steven dan Melissa. Mereka selalu berinisiatif untuk menemaniku di saat-saat diriku terpuruk dan kesepian.

Hingga akhirnya aku pun perlahan mulai menyerah dan menerima kenyataan, bahwa hubungan pertemanan dan rasa yang kumiliki, telah berakhir sampai disini saja.

Aku harus melepaskan semua rasa dan kenangan yang kusimpan, walau perih dan sulit. Bagaikan ditampar saat tertidur, walau terasa sakit tapi setidaknya aku bisa bangun dari mimpiku yang palsu, dan mulai fokus menjalani hidupku di dunia yang nyata.

Di sisi lain, Nadia dan Melissa menjadi akrab semenjak malam itu. Sampai-sampai, Nadia mengajak Melissa untuk tinggal bersama di rumahnya. Melissa sempat bertanya pendapatku, dan aku mendukungnya untuk tinggal di sana. Sebab selain bisa menemani Nadia agar tak kesepian, dia juga bisa sekalian berhemat.

Hubunganku dengan Nadia juga berangsur membaik, terutama setelah dia mendengar cerita dan kronologisnya langsung dari Melissa. Aku jadi bisa lebih tenang dan lega, karena dia perlahan mulai bisa menerimanya.

Berhubung hari itu adalah akhir pekan, aku pun berniat untuk seharian bersantai ria di kamarku. Jadi aku memutuskan untuk menonton semua film yang sebelumnya sudah ku-copy dari Steven di laptopku.

Saat sedang asik-asiknya menonton, tiba-tiba ponselku yang kuletakkan di meja bergetar. Aku buru-buru mengambilnya dan setelah kulihat ternyata terpampang nama Putra di sana. Tanpa banyak pikir, aku pun langsung mengangkatnya.

"Halo ...," ucapku.

"Halo, Ram. Gimana kabar lo?" tanya Putra sebagai basa-basi.

"Baik-baik aja, Put," jawabku singkat.

"Omong-omong, hari ini lo lagi sibuk gak, Ram?" tanya Putra.

"Nggak kok, emangnya kenapa?" tanyaku balik.

"Oh bagus, deh. Kira-kira nanti lo mau ikut gua gak, buat ketemu sama klien?" tanya Putra.

Aku diam sejenak lalu perlahan berkata, "Gua sih mau-mau aja, Put. Lumayan buat nambah pengalaman."

"Oke, deh. Nanti gua jemput jam lima sore, ya," ucap Putra.

Selagi menanti kedatangan Putra, aku pun melanjutkan menonton film. Hingga beberapa saat kemudian, tiba-tiba ponselku bergetar. Aku pun tersadar, ternyata Putra sudah sampai di depan kosku. Aku pun langsung bergegas mengganti baju dan menyemprotkan parfum lalu berlari menuju pintu kos.

Saat sampai di luar, aku melihat Putra sedang menatapku dari jendela mobilnya sambil melambaikan tangannya ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung memasuki mobilnya.

Sesaat di mobil, tiba-tiba Putra mengernyitkan dahinya sambil memandangiku dengan tatapan yang aneh.

"Kok muka lo gak lesu gitu, Ram? Kayak muka orang yang baru putus cinta aja," ucap Putra sambil tertawa.

Aku hanya diam dan menunjukkan senyuman tipis di bibirku. Melihat respon dan ekspresi wajahku, Putra pun langsung terdiam seketika. Sepertinya dia tak menyangka, celotehannya ternyata benar.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang