32. Mimpi Buruk

415 44 1
                                    

Tak tahu sudah berapa lama aku berdiri termenung di sana, aku masih merasa apa yang terjadi barusan bagaikan sebuah mimpi buruk. Aku hanya melamun dan menatap kepergian Adellia dengan tatapan kosong. Kejadian itu terus menerus berputar ulang di benakku.

Semakin larut aku mengingatnya, dadaku terasa semakin sesak, seakan dihujam dengan pisau bertubi-tubi. Kejadian malam ini telah meninggalkan bekas luka yang tak akan pernah hilang dari memoriku. Selagi aku sibuk termenung, tiba-tiba muncul suara seseorang yang berhasil menyadarkanku.

"Gimana hasilnya? Sesuai sama yang gw omongin kan?"

Ternyata suara itu berasal dari sosok Ilham. Dia menatapku seakan mencemoohku. Aku tak membalas ucapannya, hanya menatapnya dengan tajam.

"Mulai sekarang lo ga usah berharap buat deketin Adellia lagi, ok?" ucapnya dengan enteng.

Aku tetap diam tak menjawab ucapannya. Di lubuk hatiku terdalam, sudah terpicu api amarah yang kian membara. Api yang tak hanya membakar lawan di depanku, tapi juga membakar diriku sendiri.

"Kok lo diam doang? Ayo ngomong dong, katanya lo mau buktiin ke gua," ejeknya sambil tersenyum dengan sinis.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung meninju wajahnya dengan sekuat tenaga. Amarah telah menguasai diriku sepenuhnya. Sementara itu, Ilham hanya memegangi pipinya sambil menatapku dengan penuh dendam.

Tiba-tiba aku melihat banyak makhluk halus yang bermunculan di sekitar kami. Jumlahnya perlahan-lahan bertambah hingga memenuhi seluruh halaman villa. Beberapa saat kemudian, aku menyadari bahwa mereka adalah makhluk yang muncul di malam kemarin. Anehnya, mereka berdiri di sisi Ilham dan menatapku layaknya seorang musuh.

"Oh, ternyata mereka semua anak buah lo," ucapku sinis. "Emang dasarnya mau ngerusuh ya?"

"Gua ga perlu turun tangan. Demit di sekitar sini udah lebih cukup buat ngabisin lo," balasnya meremehkanku.

"Kalo demit lo cuma segini doang, mending lo panggil lebih banyak lagi sebelum terlambat," ucapku.

"Ga usah banyak omong, deh. Kita buktiin aja sekarang," balasnya sinis.

Aku langsung memanggil Lala di batinku, dan dalam sekejap mata dia langsung muncul di sampingku.

"Habisi semua demitnya," perintahku singkat.

"Jika sudah selesai, habisi juga pemiliknya." ucapku datar.

Lala hanya memandangku sesaat, lalu tanpa basa-basi dia langsung terbang menerjang para demit yang berada di sisi Ilham. Kali ini aku melihat Lala menggunakan sebuah selendang berwarna hitam pekat sebagai senjata untuk menyerang. Dengan elegan Lala memainkan selendangnya di tengah kerumunan para demit layaknya sedang menari.

Setiap serangan yang dilancarkan oleh Lala berhasil mengeksekusi beberapa demit sekaligus. Jika kuperhatikan, Lala memiliki dua jenis pola serangan. Pola yang pertama, setiap kali selendangnya menyentuh para demit, tubuh mereka akan terpotong-potong. Sedangkan pola yang kedua, selendangnya akan menyelimuti keseluruhan tubuh para demit. Yang tampaknya membuat mereka perlahan-lahan terhisap hingga pada akhirnya lenyap tidak meninggalkan sisa.

Serangan demi serangan dilancarkan oleh Lala, hingga akhirnya posisi Lala mulai mendekati Ilham. Tapi anehnya, raut wajah Ilham masih terlihat tenang. Padahal pasukannya perlahan telah dipukul mundur. Hingga saat Lala sudah berhadap-hadapan dengannya, tiba-tiba muncul makhluk raksasa berbulu lebat yang menyerupai kera hitam.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang