62. Perang

403 35 13
                                    

Setelah mendengar bisikan dari makhluk itu, suami Bu Nirma dan para pasukannya langsung bergerak menerjang ke arah kami. Begitu juga dengan pasukan kami yang tak mau kalah dan berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan mereka dari kami.

Putra dengan ketiga harimau dan pendekarnya. Sedangkan Aku dengan pria berjubah merah, Lala dan pasukan umbra yang berisikan ratusan demit. Tetapi jumlah pasukan kami masih tetap jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pasukan lawan.

"Ram, tolong urus suami Bu Nirma," ucap Putra.

Aku mengangguk dan langsung berlari menghantam dan menerjang tubuh suami Bu Nirma. Dia pun terjatuh ke lantai hingga mengeluarkan suara yang lantang. Tanpa basa basi, aku langsung menduduki punggungnya dan mengunci kedua pergelangan tangannya.

Suami Bu Nirma mencoba untuk melawan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara dari mulutnya. Badannya terasa kaku dan keras seperti batu. Dengan segenenap tenaga yang kumiliki, aku mengunci tubuhnya sekuat mungkin.

Bahkan saat di dalam posisi terkunci seperti itu, dia masih bisa memberikan perlawanan yang sangat kuat. Rasanya tak mungkin seorang manusia biasa memberikan perlawanan dengan tenaga seperti itu tanpa menunjukkan rasa sakit sama sekali.

Selagi aku dalam posisi mengunci suami Bu Nirma, pria berjubah merah dan Lala spontan berdiri di sampingku. Mereka, tepatnya Lala menghabisi setiap pasukan lawan yang berusaha mendekatiku.

Selendang hitam Lala yang sangat panjang bergerak mengelilingiku. Setiap makhluk yang terkena selendang itu langsung terhempas ataupun terpotong-potong tubuhnya.

"ARGHHHHH!"

"BUNUH MEREKA!"

"AMPUNNN!"

"HAHAHAHAHA!"

Semua jenis teriakan bermunculan dari semua makhluk itu. Baik itu teriakan kesakitan, teriakan kebencian, permohonan ampun, ataupun tawa histeris. Semua teriakan itu memenuhi telingaku, hingga membuatku tersadar bahwa mungkin seperti inilah rasanya di medan perang.

"Tolong ulur waktu selama mungkin," pinta Putra kepada makhluk penunggu kolam.

"Ulur dengan cara apa?" tanya makhluk itu sembari cekikikan.

"Lawan pemimpin mereka," jawab Putra.

"Hihihihi ... baiklah, tapi jangan sampai lupa akan janji kalian," balas makhluk itu lalu dia langsung seketika menerjang ke arah makhluk pesugihan yang sedang tersenyum.

Penunggu kolam itu menyerang si makhluk pesugihan dengan seluruh rambutnya yang mengerucut bagaikan ujung tombak yang tajam. Dia mengerahkan seluruh rambutnya secara membabi buta ke arah makhluk pesugihan itu.

Tapi anehnya si makhluk pesugihan dengan mudahnya menangkis serangan itu. Dia hanya tersenyum saat menahan serangan itu dengan telapak tangannya. Dia bahkan masih sempat menatapku dan Putra saat diserang bertubi-tubi oleh si penunggu kolam. Aku merasa seperti bahwa kami sedang dipermainkan oleh makhluk itu.

Sementara itu, Putra sibuk berkomat kamit membacakan mantra sambil memegang golok gaib yang memancarkan sinar berwarna emas. Ketiga harimau miliknya sedang sibuk mencabik-cabik dan menerkam pasukan lawan dengan beringasnya. Sedangkan sosok pendekar hanya berdiri di samping Putra seraya memantau keadaan sekitar.

Hingga beberapa saat kemudian, Putra akhirnya selesai membacakan mantra. Dia menggenggam erat golok emasnya lalu dengan cepat dia menebas para pasukan lawan dengan membabi buta. Setiap tebasan yang dilancarkannya berhasil menghabisi beberapa pasukan lawan sekaligus.

Akibat serangan Putra, alur peperangan akhirnya mulai berpihak kepada kami. Para pasukan lawan tampak ketakutan melihat sekutunya yang binasa. Beberapa dari pasukan lawan terlihat mencoba untuk mundur dan melarikan diri.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang