34. Penyesalan

424 42 1
                                    

Di sepanjang perjalanan pulang menuju Jakarta, suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. Tidak ada percakapan akrab yang terjadi di antara kami. Berbanding terbalik jika dibandingkan dengan suasana saat perjalanan sebelumnya, yang penuh akan tawa dan canda.

Aku masih belum bisa melupakan apa yang kulakukan pada Adellia di depan pintu kamar. Sejak saat itu, aku dan Adellia saling menghindar satu sama lain. Oleh sebab itu, aku memaksa duduk di kursi depan untuk menghindari interaksi dengannya. Tanpa bisa menikmati perjalanan, waktu empat jam yang kami tempuh terasa sangat lama dan membosankan.

Liburan selama tiga hari itu benar-benar berada di luar ekspektasiku. Mulai dari memori liburan yang indah berubah menjadi memori buruk bagi kami semua. Sejujurnya aku merasa bersalah, karena aku adalah penyebab dari situasi canggung ini. Jadi, aku berniat untuk meminta maaf kepada Riska dan Steven setelah suasana lebih membaik.

Sesampainya di Jakarta, Steven masih harus mengantarkan Adellia,Melissa dan Jessica pulang terlebih dahulu. Kebetulan kos Adellia dekat dengan lokasi kos kami berdua, jadi kami memutuskan untuk mengantarkan Melissa dan Jessica duluan. Tak membutuhkan waktu yang lama akhirnya kami selesai mengantarkan mereka dan langsung memutuskan untuk kembali menuju kos bersama Adellia.

Begitu kami sampai di depan kos, Adellia langsung bergegas turun dan berkata, "Makasih ya, Ven."

"Oke, Del. Omong-omong habis ini lo mau pulang kampung?" tanya Steven.

"Iya, Ven. Soalnya kemaren udah janji sama orangtua gue," jawabnya.

"Jadi lo balik sendirian ke Surabaya?" tanya Steven dengan penasaran.

"Nggak, gue bareng sama mas Ilham kok," ucapnya pelan sambil melirik ke arahku.

"Oh, ya udah hati-hati kalo gitu, Del. Sampai ketemu lagi semester depan," balas Steven sambil melirikku juga.

Sepertinya mereka berdua berharap agar aku ikut merespon perkataan mereka. Tapi sayangnya aku tak berniat untuk melakukannya, sebab mendengar nama Ilham saja sudah membuatku muak.

"Iya Ven, makasih ya. Gue duluan dulu kalo gitu," ucapnya dengan senyum kecil lalu pergi masuk ke kosnya.

Aku hanya bisa memandangnya yang perlahan pergi menjauh dariku. Mungkin ini akan menjadi hari terakhir bagi kami berdua untuk berjumpa di tahun ini. Sebuah perpisahan yang diakhiri tanpa kata-kata.

"Lo gapapa, Ram?" tanya Steven dengan serius.

"Kenapa emangnya?" tanyaku balik.

"Dari ekspresi lo aja udah keliatan kok, kalo lo masih ga rela," ucap Steven.

"Hmmm ... kayaknya gua cuma butuh waktu sendiri dulu," balasku.

"Ya udah, tapi lo yakin ga mau ngomong sama Adel sebelum dia balik?" tanya Steven perlahan.

"Hmmmmm ... entar gua pikirin dulu deh." Masih tersirat keraguan dalam batinku.

"Jangan sampe nyesel, Ram." Steven menepuk pundakku lalu pergi masuk kedalam kamarnya.

Ucapan Steven terasa sangat menusuk bagiku. Sebenarnya aku juga ingin berbicara serius dengan Adel, tetapi ego didalam diriku berhasil membungkamku. Lagi dan lagi aku masih kalah dan menjadi budak bagi ego yang ada di dalam diriku.

Saat di dalam kamar, aku hanya berbaring dan melamun, menatap kosong ke langit-langit ruanganku. Terbesit di benakku, sepertinya aku harus membenahi diriku terlebih dahulu.

Mungkin saja Adellia menolakku karena diriku yang tidak menarik dan tidak memiliki kemampuan yang mumpuni. Hingga perlahan-lahan aku mulai merasa rendah diri kembali, dikarenakan efek penolakan dari Adellia.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang