23. Melissa

461 42 3
                                    

Senja itu jadi sebagai saksi atas terakhir kalinya aku berkomunikasi dengan Adellia. Aku mulai menjalani hari-hariku tanpa berinteraksi dengan Adellia, walaupun hampir setiap hari kami berjumpa di dalam kelas. Berpapasan layaknya orang tak kenal satu sama lain.

Aku mulai kembali seperti diriku yang semula, menjadi seorang Rama yang lebih sering menyendiri. Hingga tak terasa, sudah dua minggu berlalu. Jadwal ulangan akhir semester sepertinya akan dibagikan beberapa minggu lagi.

Hari itu setelah selesai mengikuti kelas sore, aku sudah berniat untuk langsung pulang dan bermain game saja di kos, berhubung sudah menjelang malam. Sayangnya rencanaku digagalkan oleh Steven yang sudah menungguku di luar kelas.

"Woi, Ram. Yuk ikut bareng gua," ajak Steven.

"Ikut ngapain? kok tumben lo nungguin gua?" tanyaku curiga.

"Ahh banyak nanya lo. Sini ikut gua aja," ucapnya sambil menarik tanganku.

"Lo mau nyulik gua kemana, Ven? Jangan ngajakin gw buat aneh-aneh ya," ucapku.

"Hahaha santai aja, semuanya udah gua siapin, yang penting lo nurut aja," balasnya.

Perasaanku mulai tidak enak, sepertinya Steven akan mengajakku melakukan sesuatu yang aneh-aneh, karena seingatku dulu dia juga pernah melakukan hal semacam ini. Dia sengaja mengajakku tanpa memberi tahu alasannya. Aku hanya bisa pasrah dan berharap tidak terjadi hal yang memalukan nantinya.

Sesampainya di kos, aku melihat sudah ada mobil yang terparkir di depan. Sepertinya aku tak asing dengan mobil itu. Sejenak aku berpikir dan mencoba untuk mengingatnya. Seingatku, aku pernah menaiki mobil itu dengan Steven saat bersama orangtuanya.

"Eh, ini bukannya mobil bokap lo?" tanyaku.

"Hehehe, iya kemaren gua bawa ke sini," ucapnya cengengesan.

"Makin hari makin liar aja lo," ucapku.

Dia tak menghiraukan ucapanku, dia sibuk mengambil beberapa bungkusan plastik di jok belakang dan menyerahkannya padaku. "Lo pake baju yang gua sediain aja, Ram."

"Yaelah sampe acara disediain gini. Emangnya lo mau nikahan? Haha," ledekku.

"Bangke lo! Cepet ganti baju sana," balasnya.

"Iyaa ... iyaa, awas aja kalo lo nyuruh gua yang aneh-aneh ntar," ucapku lalu pergi memasuki kamar.

Sesaat kemudian, akhirnya aku mengenakan pakaian yang diberikan Steven. Dia memberiku sebuah blazer biru tua dan kaos hitam polos, lengkap dengan celana panjang hitam. Untungnya ukurannya sangat pas di tubuhku. Perpaduan pakaian yang terkesan formal seperti ingin pergi ke pesta.

Saat aku keluar, aku sudah melihat Steven lengkap mengenakan setelan jas hitamnya. Dia tampak lebih prepare dari biasanya. Aku tak tahu sebenarnya kami ingin pergi ke acara pesta siapa malam ini.

Steven seketika tersenyum sumringah saat memandangku. "Wih, kayaknya bakal banyak yang klepek-klepek sama lo, nih."

"Bodo amat dah. Yang penting lo jangan ngajak yang aneh-aneh," balasku.

"Siap boss!" ucapnya sembari menghormat. "Berangkat yok."

Seperti biasanya, di sepanjang perjalanan Steven selalu banyak mengoceh. Walaupun aku sedang malas berbicara, dengan terpaksa aku harus merespon ocehan dan candaannya. Sekilas, aku melihat keresahan dan kegugupan di raut wajahnya. Mungkin malam ini sangat berarti baginya.

Saat malam tiba, akhirnya kami sampai di lokasi tujuan. Setelah memasuki gerbang raksasa. Di depan kami kini terpampang sebuah rumah mewah yang berkesan klasik. Rumah itu ditopang oleh banyak pilar-pilar putih. Ada air mancur di tengahnya, dihiasi oleh taman mini di sekitarnya.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang