68. Raga Sukma

421 36 3
                                    

Aku seketika shock setelah mendengar kabar itu. Kepalaku rasanya menjadi pusing seperti mau pecah. Dadaku sesak dan sakit hingga membuatku susah bernafas.

"Ram, sabar Ram ...," ucap Steven berusaha menenangkanku.

Sedangkan Melissa tak kuasa menahan tangisnya. Dia memegang telapak tanganku sembari menangis terisak-isak.

Di sisi lain, aku masih tak percaya, sebab aku masih bisa mengingat jelas cerita terakhir Putra saat di mobil. Memori tentangnya satu persatu terpampang di pikiranku. Dirinya yang ramah dan berpengalaman banyak telah menjadi sosok figur seorang mentor bagiku.

Selama ini dia adalah figur yang selalu menasehati dan menyemangatiku. Di saat aku membutuhkan bantuan, dia selalu siap sedia tanpa mengharapkan imbalan apapun dariku.

"Kenapa semuanya jadi seperti ini ...."

"Bukan penjagaku saja yang tewas, kenapa Putra juga harus meninggal."

"Ini semua salahku. Kenapa aku sok jagoan. Walau sudah diperingatkan, kenapa aku membujuknya membantu Bu Nirma."

"Secara tak langsung aku sudah mengirimnya menemui kematian."

"Kenapa bukan aku saja yang menggantikan nyawa mereka," ucapku dalam batin.

Aku tak terima, kenapa Putra harus meninggal. Rasanya tidak adil. Saat dia sudah sekuat tenaga mencoba untuk menolong orang lain, kenapa nyawanya harus melayang. Untuk apa aku menang melawan makhluk itu, jika nasib Putra menjadi begini. Bahkan menurutku itu tidak pantas disebut kemenangan, sebab aku hanya jadi menanggung luka dan kehilangan akibatnya.

"Ram ...," panggil Melissa dengan nada pelan dan khawatir.

Aku tak menghiraukan panggilan Melissa, sebab batinku masih berkecamuk dan serta merta sibuk menyalahkan diriku sendiri.

"Sabar, Ram. Jangan sampe kondisi lo makin memburuk," ucap Steven.

"Iya, Ram. Kita tau kamu pasti sedih, tapi tolong jaga kondisi kamu juga," tambah Melissa.

Entah kenapa aku ingin marah akan semua hal. Ditambah lagi mereka yang mencoba untuk menasehatiku. Timbul rasa ingin melampiaskan kemarahanku kepada mereka. Tetapi aku sadar bahwa itu salah, jadi lebih baik aku menyuruh mereka pulang saja.

"Gua mau sendiri dulu," ucapku lalu memejamkan kedua mata.

Melissa dan Steven seketika diam. Beberapa saat kemudian, suara kursi yang diangkat terdengar dengan nyaring. Lalu suara langkah dan pintu tertutup pun menjadi akhir dari pertemuan kami malam ini.

Semenjak itu, walau sudah bisa berbicara, aku lebih memilih untuk diam. Aku berusaha untuk menghindari tindakan dan perkataan emosional yang keluar dari dalam diriku.

Semangatku untuk pulih lebih cepat pun sirna secara perlahan, sebab aku sibuk merenung dan mengingat semua tentang Putra. Pikiran dan batinku telah menjadi kacau balau semenjak tahu tentang kematian Putra.

Hari demi hari berlalu, tapi semakin hari aku semakin dihantui rasa bersalah yang semakin besar. Bahkan saat tidur pun aku seringkali bermimpi buruk tentang Putra. Aku selalu flashback akan kecelakaan itu. Namun apa daya, aku memilih untuk tersiksa dalam diam.

<><><>

Hingga pada suatu saat, setelah berminggu-minggu aku dirawat di rumah sakit. Tiba-tiba Ibuku mengatakan bahwa seorang pria yang mengaku sebagai kenalan Putra datang mengunjungiku.

Lelaki itu memiliki perawakan yang tinggi dan cukup berisi. Dari penampilannya aku memperkirakan umurnya berkisar dari empat sampai lima puluh tahunan.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang