44. Ancaman

400 35 2
                                    

Tatapan mata dan senyum tulus yang terpancar dari wajahnya berhasil membuatku menjadi salah tingkah. Aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa, sebab pikiran dan batinku jadi mendadak kacau.

Sementara itu, Melissa masih saja memandangku dengan tatapan hangatnya. Membuat suasana yang tadinya terasa mellow berubah menjadi suasana yang canggung dan aneh. Hingga beberapa saat, hanya terdengar suara mesin dari kipas angin yang mengiringi keheningan di ruanganku.

"Gua ke kamar mandi dulu, Del," ucapku memecah keheningan.

"Iya, Ram." Adel membalas dengan suara pelan.

Aku langsung bergegas beranjak dan melangkahkan kedua kakiku menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, aku spontan memeriksa tampang wajahku di cermin. Anehnya aku melihat kondisi telingaku yang tampak memerah seperti kepiting rebus. Dicium di pipi saja membuatku menjadi begini, sungguh memalukan ucapku di dalam hati.

Tapi tak bisa dipungkiri, serangan tak terduga yang dilakukan Melissa telah berhasil menembus pertahananku yang lengah. Dia berhasil memanfaatkan momen itu dengan sempurna.

Perlahan aku mulai mencoba menenangkan pikiran dan batinku. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan lantang. Melakukan hal itu biasanya dapat menyegarkan pikiranku serta mengembalikan rasa tenang di batinku.

Selang beberapa waktu kemudian, aku pun keluar dan menghampiri Melissa yang sedang duduk di atas kasur. Sebagai pembuka pembicaraan, aku mulai berpura-pura mendeham.

"Mel, omong-omong apa lo ga dicariin sama orangtua lo?" tanyaku penasaran.

"Aku kabur dari rumah, Ram." Jawaban singkat dari Adel seketika mengejutkanku.

"Ha? Kok bisa, Mel? Jadi lo tinggal di mana selama ini?" cecarku dengan beberapa pertanyaan.

Melissa diam sejenak, lalu perlahan berkata, "Ceritanya bakal panjang banget kalo diceritain, Ram."

"Gapapa Mel, gua siap dengerin kok kalo lo bersedia," balasku.

"Sebenarnya aku anak broken home, Ram. Mama aku udah cerai sama Papa sedari aku kecil dulu," ucap Melissa dengan wajah menunduk.

"Sejak itu, Mama ngilang tanpa ngucapin apa-apa ke aku. Jadi aku terpaksa hidup dan tinggal bareng sama Papa. Sebenarnya, awalnya Papa masih sayang dan perhatian banget ke aku."

Tiba-tiba Melissa berhenti berbicara lalu menghela nafasnya dalam-dalam. "Tapi sejak aku masuk SMA, lama-kelamaan papa mulai berubah. Yang dulunya papa sering nanya kondisi dan kegiatan aku, jadi mulai gak peduli dan merhatiin keadaanku. Papa juga jadi lebih sering keluar dari rumah dan pulang larut malam. Sampe akhirnya aku udah gak tahan lagi dan langsung nanyain ke papa. Dan ternyata yang aku dapat hanya respon dingin."

"Kamu gak perlu tau, fokus ke sekolah kamu aja."

"Papa aku hanya ngomong gitu terus pergi ninggalin aku sendirian di rumah. Saat itu aku hanya berpikir, kayaknya ga ada lagi orang yang bener-bener peduli sama aku. Aku ngerasa keluarga satu-satunya yang kumiliki akhirnya ngebuang dan ninggalin aku sendirian. Aku ngerasa hidup ini kayaknya udah ga ada artinya lagi."

Suara Melissa tampak mulai bergetar, matanya juga tampak berkaca-kaca. Sepertinya pengalaman itu telah memberi bekas trauma yang mendalam di memorinya.

"Sejak kejadian itu, aku juga mulai bersikap dingin ke Papa. Aku hanya bicara kalo ada sesuatu yang penting aja. Sampe suatu saat kemudian, waktu aku udah SMA, papa aku tiba-tiba ngebawa seorang wanita muda ke dalam rumah. Dan Naifnya, aku ngerasa wanita itu kayaknya bakal cocok sama Papa. Karena aku ngerasa Papa dan wanita itu keliatannya bener-bener bahagia waktu bersama."

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang