1. Pertemuan Pertama

3.7K 130 5
                                    

Malam perlahan menghilang, digantikan oleh cahaya fajar yang kian menerang. Merah dan jingga pun mulai menghiasi langit, layaknya sedang mengusir kegelapan untuk menyambut sang pagi.

Kuhirup aroma pagi itu, jiwa dan ragaku pun terasa tenteram. Aku duduk disofa kost-anku, beristirahat sejenak seraya bersiap untuk memulai sebuah perjalanan baru. Kutatap layar televisi mati yang berisikan pantulan figurku. Hingga perlahan, rasa nyaman mulai menjalar di sekujur tubuhku. Aku tak kuasa membendung pikiran yang perlahan menarikku ke dalam lamunan tak berujung, yang berisikan memori masa laluku.

<><><>

Perkenalkan nama lengkapku adalah Rama Wijaya. Ayahku memberikanku nama itu karena sebuah alasan yang klasik, yaitu menurunkan nama sang idola kepada anaknya. Dari cerita ibuku, dulunya ayahku sangat menyukai cerita legenda pewayangan. Terutama kisah legenda Ramayana, yang berisikan kisah romansa antara tokoh Rama dan Shinta.

Ayahku berasal dari desa yang masih sangat kental dengan adat istiadat Jawa. Itu sebabnya Ayahku memiliki sifat yang konservatif, efek dari lingkungan asal muasalnya. Sedangkan di sisi lain, Ibuku sudah menetap di Jakarta sejak lahir. Jika dipikir-pikir, latar belakang mereka bisa dibilang sangat berbeda dan bertolak belakang. Begitu juga dengan sifat mereka. Tapi anehnya mereka bisa menikah dan berakhir hidup bersama, aneh bukan?.

Mereka berdua bekerja sebagai karyawan di perusahaan swasta yang berbeda. Secara finansial bisa dikatakan keluarga kami berkecukupan. Sejak kecil aku juga dididik untuk hidup dengan sederhana oleh orangtuaku. Mereka tak berharap aku menjadi orang yang hebat ataupun sukses, yang terpenting adalah aku dapat menjadi orang yang hidup dengan mengedepankan moral dan prinsip.

Aku adalah anak semata wayang alias anak satu-satunya di keluargaku. Banyak orang pasti berpikir bahwa aku pasti sangat disayang dan dimanja kedua orangtuaku. Mungkin apa yang mereka pikir benar, tapi tidak sepenuhnya. Aku memang merasakan kasih sayang dari mereka dari perbuatan, tetapi tidak dari ucapan.

Alasannya karena kedua orang tuaku memiliki ego yang sangat tinggi. Selain itu, kedua orangtuaku sangat sering berselisih pendapat dan bertengkar. Itulah sebabnya aku menjadi orang yang kurang percaya diri dan pendiam. Hingga perlahan tanpa kusadari aku yang saat kecil suka berceloteh, mulai sering memendam pikiran dan perasaanku sendiri di saat beranjak dewasa.

Kehidupanku sejak kecil sampai aku menginjak bangku SMA bisa dikatakan biasa saja. Tiada kejadian unik ataupun menarik yang bisa kubanggakan. Aku hanya menjalani kehidupan yang membosankan.

Aku hanya mengikuti arus dan melakukan aktivitas seperti orang lainnya tanpa mengetahui apa sebenarnya impianku itu sendiri. Jika ditanya mengapa aku tak mengetahui apa impianku sendiri? Alasannya adalah karena aku tak melihat bakat atau talenta yang menonjol dari diriku.

Saat sedang asik melamun, tiba-tiba seseorang mengejutkanku dengan teriakannya. "Woi, pagi-pagi dah ngayal aja lo hahaha,"

"Bangke," Aku terpenranjat dari sofa yang kududuki.

"Ngayal apaan coba lo? Ngayal cewek yang lagi bugil ya? Hahaha," ejeknya

"Lo kira gw mesum kayak otak lo. Gw sampe ngayal gini gara-gara nungguin lo yang dandannya lama banget," balasku dengan kesal

"Yaudah, berangkat yok," ucapnya sambil merangkul bahuku.

Kami berdua pun melangkah menuju pintu keluar kos. Sebenarnya pagi ini adalah pertama kalinya untuk kami memasuki kampus dengan menenteng status mahasiswa. Sebelumnya, pria yang menjadi lawan bicara dan merangkul bahuku adalah Steven.

Dia adalah satu-satunya sahabat yang kupunya sepanjang hidupku. Bisa dibilang dia termasuk salah satu siswa terpopuler di sekolahku. Alasannya adalah karena dia memiliki wajah yang tampan kebule-bulean dengan postur tubuh yang tinggi seperti model. Ditambah lagi dengan sifatnya yang ramah dan humoris, membuat dia selalu menjadi pusat perhatian bagi kaum hawa.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang