28. Truth or Dare

463 44 2
                                    

Adellia dan Melissa berhenti seketika. Mereka mulai membuka kedua mata, lalu memandangku dengan ekspresi menahan tawa. Ternyata mereka juga mendengar ucapan dari Riska.

Untung saja Riska datang, karenanya aku bisa terbebas dari siksaan dua wanita ini. Tetapi di sisi lain, aku tak tau harus bagaimana menjelaskan situasi barusan kepada Riska. Karena apa pun alasan yang kukatakan tidak akan mengubah kesan ambigu dari mobil yang bergoyang.

Dari kaca mobil aku bisa melihat sebuah rumah megah, dengan halaman yang sangat luas. Halaman itu beralaskan rerumputan pendek yang tertata rapi. Terdapat taman yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga. Selain itu, ada beberapa fasilitas seperti ayunan, seluncuran dan permainan hiburan lainnya. Bisa dibilang tempat ini sangat cocok sebagai tempat bermain anak kecil.

Villa ini juga sangat terlihat eksklusif, sebab berada di lokasi yang strategis, di kelilingi oleh hutan dengan pepohonan lebat yang membuat udara sangat bersih dan sejuk. Cocok bagi mereka yang ingin healing. Beberapa rumah di sekitar bisa dikatakan jaraknya cukup jauh, dan rata-rata juga merupakan villa.

Sambil memandangi lokasi sekitar, aku masih sibuk memutar otakku untuk mencari alibi yang paling masuk akal. Tetapi tak kunjung muncul juga, hingga pada akhirnya aku hanya bisa berpasrah dan keluar dari mobil dengan canggung.

Sedangkan Adellia dan Melissa keluar dengan memasang ekspresi wajah polos layaknya tidak terjadi apa-apa. Aku tak menyangka mereka berdua bisa berakting dengan sangat natural, sungguh menakutkan, pikirku. Untungnya saat itu cuma ada Steven dan Jessica yang bersama Riska. Jika ada Ilham mungkin dia akan memelototiku layaknya ingin menelanku hidup-hidup.

Sedangkan Riska hanya memandangi kami dengan tatapan bingung dan penuh curiga. Aku hanya membalasnya dengan senyuman terpaksa di mulutku. Dalam beberapa saat, kami cuma berpandang-pandangan tanpa mengucap sepatah kata apa pun. Semakin lama situasinya menjadi makin canggung dan ambigu. Hingga pada akhirnya, Steven berhasil mencairkan suasana dengan mulai membuka pembicaraan.

"Anak-anak yang lain pada kemana, Kak?" tanya Steven.

"Udah pada masuk ke dalam villa dari tadi. Kalian masuk juga, gih," jawab Riska.

"Oke, Kak. Omong-omong pembagian kamarnya jadi gimana, ya?" tanya Steven lagi.

"Dua kamar di atas buat cewek, dua kamar di bawah buat cowok," jelas Riska.

"Ya udah, kita masuk dulu ya, kak." Steven lalu membawa kopernya masuk.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung bergegas membawa tasku dan mengikutinya dari belakang. Begitu juga dengan Adellia dan Melissa yang membawa tasnya masing-masing. Aku hanya membawa pakaian dan peralatan yang seadanya saja, sebab kami hanya berencana liburan tiga hari saja di sini.

Setelah menginjakkan kaki di dalam villa, aku mulai melihat bentuk desain rumah yang sangat mewah. Di lantai satu tampak ruang tamu yang luas dilengkapi dengan perabotan dengan kesan modern dan rapi. Di dekatnya ada ruangan dapur yang tampak minimalis. Selain itu di bagian belakang tampak kolam renang yang cukup besar disertai dengan tempat untuk bersantai di sekelilingnya.

Di ruang tamu, tampak rombongan Ilham, Ivan dan Thalia yang sedang duduk santai di sofa. Sepertinya mereka sudah sampai cukup lama di sini, sebab kelihatannya mereka sudah berganti dengan pakaian yang lebih santai.

Aku hanya memperhatikan mereka sekilas lalu bergerak mencari kamar untuk meletakkan tasku. Beberapa saat kemudian, aku melihat ada dua kamar yang bersebelahan. Salah satu kamar itu dalam keadaan pintu terbuka yang di dalamnya tampak telah dipenuhi dengan barang-barang orang lain.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang