30. Pembuktian

431 40 2
                                    

Seketika suasana yang seharusnya romantis berubah menjadi heboh. Akibat dari teriakan histeris Steven yang tadinya sedang mengintip. Apakah kami keliatan segila itu, sampai-sampai Steven berpikir bahwa kami seperti orang kesurupan tadinya.

Semuanya tiba-tiba datang berlari menuju posisi kami, tetapi mereka hanya menemukan kami yang sedang mengobrol biasa dan tampak normal.

"Lah, lo bukannya kesurupan tadi, Ram?" tanya Steven bingung.

"Kesurupan pala lo peang! Orang kita cuma ketawa-tawa doang tadi," ucapku kesal.

"Ketawa-tawa doang apaan coba! Lo berdua udah kayak orang kesetanan ketawanya," protesnya.

"Parah lo, Ven. Bisa-bisanya ngerusak momen orang yang lagi berduaan," ucap Ivan.

Steven lalu membungkuk layaknya seorang pelayan, lalu dengan cengiran di raut wajahnya dia berkata, "Sorry bro and sista, maafkanlah hamba yang berdosa ini."

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalaku, sedangkan yang lain hanya bisa tertawa melihat tingkah konyol Steven. Sepertinya semua kejadian malam ini berada di luar ekspektasiku. Mulai dari banyaknya makhluk halus yang mengelilingi kami, hingga momen bersama Adellia yang seharusnya romantis berubah menjadi penuh tawa.

Berhubung sudah larut malam, kami menyudahi aktivitas malam itu dan memutuskan untuk beristirahat. Soalnya besok pagi, kami sudah berencana untuk pergi jalan-jalan di sekitar lembang. Semoga saja besok kami bisa menikmatinya dengan lancar.

Perlahan suara aktivitas para penghuni villa mulai meredup dan perlahan-lahan menghilang. Sudah lama aku tidak merasakan sensasi nyaman seperti ini. Saking dinginnya, dimana aku harus tidur menggunakan selimut tanpa perlu menghidupkan AC. Hingga akhirnya, suasana yang sepi dan udara dingin berhasil membuat para penghuni villa tertidur dengan pulasnya.

<><><>

Fajar menyingsing diiringi oleh suara kicauan burung yang merdu menandakan tibanya sang pagi. Udara yang sejuk kian berubah menjadi dingin yang menusuk kulit. Tanpa selimut, mungkin aku sudah membeku di sepanjang malam.

"Bangun, woi! Udah terang, nih." Steven lalu menguap.

"Sekarang udah jam berapa, Ven?" tanyaku masih dengan kedua mata yang masih terpejam.

"Udah hampir jam delapan, nih. Siap-siap dulu yok," ajaknya.

"Lo duluan aja, Ven. Gua nyusul entar," ucapku lalu melanjutkan tidur.

"Ya udah," balasnya singkat sembari melangkah ke kamar mandi.

Tak tahu berapa lama aku telah tertidur. Hingga aku merasakan wajahku seperti sedang tersentuh oleh sesuatu. Saat aku perlahan membuka mata, aku melihat Steven sedang memegang sebuah lipstick.

Di belakangnya, sudah berkumpul semua orang terkecuali Ilham. Aku memperhatikan mereka yang sedang tertawa terbahak-bahak memandangku. Sesaat kemudian aku baru menyadari bahwa Steven telah mencoret wajahku dengan lipstick yang ada di genggamannya.

"Sialan lo, Ven! Iseng banget dah lo!" ucapku kesal.

"Hahahaha, siapa suruh lo tidur mulu kerjaannya," balasnya sembari tertawa puas.

"Jangan gerak dulu, Ram. Kita foto-foto dulu, nih." Jessica menjepret peristiwa itu sambil menahan tawa.

"Ahhh, jangan pake di foto segala dong!" ucapku sembari berusaha menghindar.

"Jangan kasih kabur. Bantu pegangin," ucap Melissa lalu menahan lenganku.

Seisi ruangan kamar kian dipenuhi oleh suara riuh tawa mereka semua. Aku hanya bisa berpasrah, karena badanku telah dikunci hingga tak bisa bergerak oleh Steven dan Ivan. Tak tahu sudah berapa banyak foto dan pose yang diambil oleh mereka. Sampai akhirnya mereka puas dengan hasilnya, barulah aku dilepaskan.

Awakening - Sixth SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang