Seperti dugaanku dulu, setelah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, hubunganku dengan Adellia pasti akan menjadi canggung. Aku tak tahu harus merasa menyesal atau merasa lega setelah mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya. Aku hanya bisa berbaring di atas kasur dengan perasaan yang campur aduk. Hingga tiba-tiba muncul suara Lala yang berhasil mengejutkanku.

"Jangan berlarut-larut di dalam keraguan," ucap Lala.

"Duh, kalo bisa munculnya jangan tiba-tiba dong," ucapku spontan.

Lala hanya diam tak menghiraukan ucapanku, dia hanya memandangku dengan tatapan datarnya.

"Hmmmm ... sebenarnya aku mau minta maaf karena jarang berkomunikasi dengan kalian," ucapku pelan.

Lala tidak meresponku, dia hanya diam sembari memandangku. Hingga perlahan-lahan sebuah senyuman mulai mekar di bibirnya. Sepertinya dia senang mendengar ucapanku.

"Apa kamu keberatan jika aku memanggilmu hanya untuk berbicara dengan santai?" tanyaku sambil memperhatikan ekspresi wajahnya.

Lala mengangguk kecil dengan senyuman manis yang masih menempel di bibirnya.

"Kalo boleh tau, apa saja kegiatan yang kamu lakukan di alammu?" tanyaku penasaran.

"Aku hanya berdiam diri di tempat kita pertama kali berjumpa," jawabnya.

"Hanya diam tanpa melakukan apa-apa?" tanyaku dengan heran.

Lala mengangguk sebagai tanda konfirmasi. Sebenarnya aku kasihan dengan Lala, sebab aku merasa dia masih dihantui oleh bayang-bayangan tuannya yang terdahulu. Dia masih belum bisa melepas kenangan buruk dan keterikatan di antara mereka berdua.

"Apa kamu tidak bosan sendirian disana? Bagaimana kalau kamu berada di sisiku saja?" tanyaku perlahan.

Mendengar ucapan dariku, Lala langsung merespon dengan anggukan cepat sambil tersenyum dengan lebar. Raut wajahnya tampak sangat bahagia, mungkin dia sudah menunggu-nunggu ajakanku dari dulu. Tapi apa daya aku masih tidak peka akan perasaan dan situasi dirinya. Sejak saat itu, aku mulai sadar akan pentingnya komunikasi dengan entitas yang mengikutiku.

Aku akhirnya memahami, bahwa mereka juga memiliki perasaan layaknya seorang manusia. Mereka juga memiliki kehidupan di alamnya masing-masing. Aku mulai menyadari kesalahanku yang hanya memanggil mereka jika dibutuhkan saja. Padahal seharusnya aku menganggap mereka seperti seorang teman, di mana aku bisa saling berbagi kebahagiaan maupun kesusahan.

Selama ini hubungan kami hanya berada di sebatas kebutuhan dan kepentingan saja. Aku merasa menyesal telah memperlakukan mereka dengan tidak sepantasnya. Oleh karena itu, aku berniat untuk memperlakukan dan memahami mereka dengan lebih baik lagi.

Beberapa saat setelah aku berkomunikasi dengan Lala, aku mulai merasa kehabisan topik. Sebab pada dasarnya aku bukanlah orang yang banyak berbicara, jadi biasanya orang lain yang bertanya kepadaku. Perlahan aku menjadi merasa canggung, sebab Lala selalu berada di sisiku sambil memandangiku.

Mau tak mau aku harus menonaktifkan mata ketigaku, agar tidak merasa risih saat melakukan aktivitasku. Pada malam itu, aku sibuk mencari informasi mengenai pelatihan tentang ilmu supranatural melalui internet. Dengan serius, aku mulai menjelajahi dari website, forum, hingga ke sosial media.

Jika mengingat pertarungan gaibku dengan Ilham, aku ingin melatih diriku dengan lebih serius lagi. Di saat itu, aku belum bisa menggunakan keilmuan atau senjata apa pun untuk membantu teman gaibku.

Oleh karena itu, aku harus mencari dan belajar dari seorang guru ataupun ahli. Aku berharap di saat kami bertemu lagi, aku bisa membuat Ilham bertekuk lutut di hadapanku. Aku ingin melihat wajahnya yang sombong itu kian mengemis ampunan dariku.

Awakening - Sixth SenseWhere stories live. Discover now