32. Mimpi Buruk

Depuis le début
                                    

Saat makhluk itu muncul, semua demit yang menyerang Lala berhenti seketika. Makhluk itu berdiri di samping Ilham dan menatap Lala dengan tajam. Sepertinya makhluk ini adalah penguasa daerah sini, sebab aku merasa aura yang dikeluarkannya terasa sangat ganas dan liar, hingga berhasil menundukkan para demit di sekitarnya.

"Ingat dan tepati janjimu," ucapnya singkat kepada Ilham dengan suara serak dan menggema.

Ilham tak membalas ucapannya, dia hanya mengangguk kecil sembari tersenyum. Aku tak tahu perjanjian apa yang mereka berdua maksud, tapi yang pasti mereka sudah sepakat dan bersekongkol untuk menyerangku. Aku tak menyangka di balik raut wajahnya yang ramah, dia menyembunyikan sifat aslinya yang licik.

Tanpa basa-basi, makhluk yang menyerupai kera itu langsung bergerak menyerang Lala secepat kilat. Dia tidak menggunakan senjata apa pun, dia hanya menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram Lala.

Sementara itu, Lala berhasil menghindari setiap serangannya dan melancarkan serangan balik berulang kali. Tapi anehnya serangan Lala tak terlalu berimbas bagi kera itu, hanya memberikan lecetan dan sesekali membuatnya mundur beberapa langkah.

Lala dan kera itu tampak sibuk bertarung dengan serius. Jika kuperhatikan dengan seksama, sepertinya pertarungan mereka dalam keadaan yang seimbang. Tak satu pun dari mereka yang bisa saling melukai satu sama lainnya. Kera itu selalu mencoba meninju dan mencengkeram tubuh Lala, sedangkan di sisi lain Lala berhasil menghindarinya lalu menyerang balik menggunakan selendangnya.

"Cepat serang manusia itu sekarang juga!" teriak kera itu kepada para pasukan demitnya sembari menatap diriku.

Segerombolan demit itu langsung menerjang cepat ke arahku, tetapi aku tidak panik, karena pria berjubah merah sudah muncul tepat di sampingku. Tanpa berbicara, dia langsung menyerang dedemit yang mendekatiku tanpa ampun.

Dengan secepat kilat dia menghabisi para demit yang mendekatiku. Demit-demit yang hanya fokus menargetku langsung terpental dengan sendirinya, layaknya ada perisai pembatas di sekitarku tubuhku.

"Mendekat sama dengan mati!" ucap pria berjubah merah dengan dingin.

Para demit itu pun tampak tak mempedulikan ucapan pria berjubah merah, dan mereka tetap mencoba menyerangku dengan membabi buta. Melihat mereka yang masih saja keras kepala, pria berjubah merah itu pun melakukan aksi sesuai perkataannya barusan.

Para dedemit itu tak mau menyerah, mereka malah tampak semakin buas dan beringas. Mereka berteriak sembari tak henti-hentinya kembali menerjang ke arahku, seakan tak peduli akan kondisi diri mereka yang satu persatu lenyap.

Tampak para dedemit yang menyerangku satu-persatu mulai binasa. Mereka hanya bisa berteriak histeris tak berdaya saat sedang dicengkeram sampai terkoyak oleh penjagaku. Bagian-bagian tubuh mereka mulai hancur dan tercerai berai setiap kali penjagaku menyerang. Sungguh pemandangan yang brutal dan sadis, tapi itu tak terlalu mempengaruhiku, sebab diriku sudah dibutakan oleh perasaan murka.

Melihat para pasukan dedemit yang mulai terpukul mundur, tiba-tiba Ilham berjalan mendekati posisiku. Di tangannya muncul sebuah keris yang memancarkan aura berwarna hijau. Aku merasakan keris itu memiliki kekuatan yang berbahaya dan bisa mengancam kami. Perlahan-lahan dia mulai mengarahkan keris itu kepada penjagaku. Layaknya sebuah senapan, keris itu menembakkan energi berwarna hijau ke tubuh pria berjubah merah.

Secara spontan penjagaku langsung memasang sikap posisi bertahan. Saat energi keris itu mengenai penjagaku, tak kusangka serangannya berhasil membuat penjagaku sampai mundur beberapa langkah. Pantas saja Ilham sangat percaya diri walau telah melihat kedua penjagaku menghabisi pasukan demitnya.

Awakening - Sixth SenseOù les histoires vivent. Découvrez maintenant