18. Memori yang Indah

Start from the beginning
                                    

Tak lama berpikir, aku langsung memerintahkan Lala untuk tetap menjaga tubuh Adellia tak peduli apapun yang akan terjadi. Setelah memerintahkannya aku langsung bergegas keluar ruangan, berniat untuk membantu penghuni rumah yang kesurupan.

Baru saja aku membuka pintu, aku sudah melihat pemandangan berbagai macam makhluk halus yang telah memenuhi semua sudut ruangan. Mulai dari genderuwo, pocong, kuntilanak, siluman, hingga berbagai jenis yang tak bisa kujelaskan. Mereka menatapku dengan ganas layaknya sedang melihat seekor mangsa. Beberapa dari makhluk itu tak tinggal diam, mereka tak bisa menahan nafsu liarnya dan langsung menerjang ke arahku dengan ganasnya.

Tetapi untungnya skenario yang terjadi sesuai dengan dugaanku. Pria berjubah merah seketika muncul di depanku lalu menghadang para makhluk yang mencoba menyerangku. Makhluk yang ingin menyerangku langsung terpental ke belakang dan menatap kami dengan penuh amarah dan was-was.

"Pergi dari sini atau binasa!" bentak pria berjubah merah.

Makhluk-makhluk itu menjadi tampak ragu untuk menyerang kembali. Sepertinya mereka menyadari bahwa kemampuan mereka tak sebanding dengan makhluk yang ada di hadapan mereka. Mereka hanya bisa berusaha menggertak, walau tampak dari ekspresinya bahwa mereka sebenarnya menyimpan rasa takut.

Hingga beberapa saat kemudian, muncul makhluk bertubuh ular dengan kepala manusia. Tubuhnya berukuran raksasa, sisiknya berwarna hijau, rambutnya putih dan panjang terurai, wajahnya tua dengan mata yang sepenuhnya hitam. Yang paling dominan dari wujudnya adalah lidahnya yang panjang hingga bisa menyentuh lantai.

"Serang mereka atau kalian lebih memilih lenyap di tanganku!" ancamnya kepada para bawahannya.

Mendengar ucapannya, semua makhluk itu berteriak menjadi-jadi dan tanpa ragu bergerak menyerang kami. Sepertinya mereka tidak memiliki pilihan lain selain menuruti apa perkataan siluman ular itu.

Pria berjubah merah hanya meresponnya dengan sebuah senyuman sinis di ujung bibirnya.

"HAHAHA!" Seketika dia tertawa dengan suara lantang yang ternyata berhasil membuat makhluk-makhluk itu terpental ke belakang.

Tak hanya itu saja, perlahan-lahan tubuhnya berubah bentuk. Tubuhnya mulai membesar dan mengeluarkan sisik berwarna merah. Wujudnya yang awalnya berbentuk manusia, seketika berubah menjadi ular bermahkota emas.

Tanpa banyak omong, dia langsung menyerang para makhluk kiriman itu secara membabi buta. Dia mulai mengibaskan ekornya untuk menghempaskan semua lawan secara bersamaan. Lalu dia menggigit para makhluk itu sampai tubuhnya tampak terkoyak-koyak tak beraturan. Beberapa dari makhluk itu bahkan langsung ditelan secara hidup-hidup.

Aku hanya bisa melihatnya dari posisi belakang. Aku dapat melihat jelas ekspresi dari semua makhluk itu. Tampak ekspresi semua makhluk itu tampak ketakutan akibat keganasan dan terror dari sosoknya. Jumlah mereka yang awalnya memenuhi seluruh sudut ruangan, kini berkurang dengan drastis.

Banyak dari mereka berhasil menancapkan serangan ke tubuh penjagaku, tetapi serangan yang mereka berikan seperti tak mempunyai efek yang berarti. Dia tampak tak merasakan sakit sama sekali, dia bahkan tak memperdulikan semua serangan lawan yang berhasil mengenainya. Dia malah terlihat semakin ganas dan beringas saat melakukan perlawanan.

Perlahan-lahan semua makhluk kiriman itu mulai terpukul mundur dan hanya menyisakan beberapa makhluk saja. Melihat situasi yang seperti itu, siluman ular berwarna hijau itu pun tak tinggal diam.

"Dasar tidak berguna kalian semua!" bentak siluman itu kepada bawahannya.

Lalu dia mulai bergerak mendekati penjagaku dan langsung berusaha melilit tubuhnya dengan cepat.

"Sekarang kau tak bisa berbuat apa-apa lagi!" tawa siluman ular hijau itu dengan terbahak-bahak.

"Kau mau binasa atau menyerah dan menjadi anak buahku saja?" tanyanya seakan sudah yakin atas kemenangannya.

Mendengar ucapannya malah membuat penjagaku tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya bahkan berhasil membuat telingaku berdengung keras.

"Kau masih bisa tertawa?" ucap siluman ular hijau itu dengan penuh amarah.

Dengan nada yang remeh, penjagaku berkata, "Jadi, cuma segini saja kekuatanmu?"

Siluman ular hijau itu tampak sangat marah, lalu dia berteriak "Sialan, mati kau!"

Siluman ular hijau itu lalu berusaha menerkam kepala dari penjagaku. Tapi apa daya usahanya malah menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri. Sebab penjagaku langsung menerkam balik kepala ular itu dan menelannya mulai dari kepala hingga ke ekornya, layaknya menghisap mie.

Setelah dia selesai menelan ular hijau itu hidup-hidup, dia kembali berubah menjadi perwujudan manusia, lalu berkata. "Aku paling membenci jika ada makhluk yang ingin menyerupai wujudku."

Melihat pemimpinnya telah ditelan hidup-hidup, para makhluk kiriman yang tersisa itu pun langsung menghilang melarikan diri. Termasuk juga dengan mereka yang merasuki tubuh para penghuni rumah Riska. Situasi pun seketika menjadi aman kembali.

Aku langsung menghampiri Riska dan Ayahnya. Riska dan ayahnya masih tampak panik. Saat melihatku datang mendekat, mereka langsung meluncurkan banyak pertanyaan, tapi aku meresponnya singkat karena ingin mengecek keadaan Adellia secepat mungkin.

"Sekarang udah aman kok om, kak. Saya masuk ke ruangan dulu ya untuk memastikan keadaan Adellia," ucapku cepat dan langsung bergegas pergi masuk ke kamar.

Saat aku sudah berada di ruangan, aku melihat Adellia masih memejamkan matanya, masih di dalam posisi meditasi. Tanpa berpikir panjang aku langsung mendekat dan duduk di sebelahnya. Walaupun sudah berhasil mengusir makhluk kiriman dari dukun tersebut, perasaanku masih belum tenang karena kondisi Adel yang belum sadar. Aku hanya bisa berdoa di dalam hatiku, agar tak terjadi sesuatu yang buruk kepadanya. Aku hanya bisa diam dengan hati yang gelisah menunggunya di ruangan itu.

Hingga tak tahu sudah berapa lama aku menunggunya di ruangan itu, membuatku tak kuasa untuk melamun dan tak sadar akan semua kondisi di sekitarku. Hingga sebuah sentuhan lembut di tanganku berhasil menyadarkanku. Aku menoleh dan menyadari bahwa pandangan mataku dan Adellia saling bertemu. Sebelum aku berhasil membuka mulutku dan mulai berbicara, Adellia sudah memposisikan jari telunjuknya tepat di bibirnya. Sebagai tanda untuk menyuruhku diam dan tidak berbicara.

Saat itu juga aku baru menyadari bahwa salah satu tangan kami sedang saling berpegangan di bawah lantai. Adellia kembali memejamkan kedua matanya sembari memancarkan senyuman di bibirnya. Kami menikmati malam itu di dalam keheningan. Pada akhirnya, kami berhasil mengubah situasi yang mencekam ini menjadi sebuah memori yang indah.

Bersambung ...

Awakening - Sixth SenseWhere stories live. Discover now