Sementara itu, Adel menyadari kondisiku yang shock. Dia mengikutiku kembali masuk kedalam kelas sembari menepuk-nepuk bahuku lalu berkata, "Jangan takut Ram, ada aku disini kok. Mereka ga bakal berani ganggu kamu." ucapnya pelan meyakinkanku

"Mereka semua kok bisa natap gua ya, Del? Seakan-akan tau, kalo gua bisa ngeliat mereka," tanyaku dengan badan yang masih gemetaran karena mengingat pemandangan barusan.

"Emang mereka tau Ram, kalo lo bisa ngeliat wujud mereka," jawab Adel dengan sabar. Padahal sebenarnya dia sudah menjelaskannya sebelumnya.

"Gua harus gimana sekarang, Del? Gua ga kuat kalo ngeliat mereka terus-terusan kayak gini," ucapku ketakutan.

"Mau gamau kamu harus kuat Ram. Soalnya kalau kamu takut, mereka bakal lebih senang gangguin kamu," balas Adel meyakinkanku.

"Aku sih pengennya gitu juga, Del. Tapi hatiku ga bisa bohong, kalau aku sebenarnya takut ngeliat wujud mereka," ucapku lemas.

"Aku juga gatau kenapa aku dikasih kemampuan buat ngelihat mereka," tambahku.

"Hmmm ... bukannya kamu bilang mau cerita habis kelas tadinya?" tanya Adel.

Aku baru saja ingat dan mulai menjelaskan dari hal yang kupelajari lewat internet, praktik meditasi dan pertemuanku dengan pria berjubah merah itu kemarin malam. Aku berusaha menjelaskannya sedetail mungkin supaya tidak ada hal yang terlewat.

"Kalo menurutku sih, indera keenam kamu mulai terbuka Ram. Kayaknya kamu makin sensitif efek dari meditasi kemarin malam. Faktor lainnya, ada kemungkinan karena jarak kita berdua yang makin dekat Ram," jelas Adel

"Hubungannya sama jarak kita yang makin dekat apa Del?" tanyaku bingung.

"Analoginya, saat kita berteman dengan penjual minyak wangi, otomatis kita juga bakal ketularan sedikit wanginya. Jadi analoginya, saat ini aku ada diposisi penjual minyak wanginya. Karena kita sering dekat, energi dariku bikin indra keenam kamu makin tajam," jelas Adel.

"Ada solusi buat nutupnya gak, Del? Soalnya untuk saat ini, aku gak yakin bisa kuat, Del."

"Setau aku sih banyak yang bisa nutup, Ram. Tapi ujung-ujungnya bakal kebuka lagi nantinya. Soalnya sebenarnya semua orang udah punya mata ketiga sejak lahir. Hanya aja mata ketiga itu ketutup seiring dia tumbuh dewasa. Untuk orang-orang yang mata ketiganya masih kebuka sampe dewasa, bisa dibilang mata ketiganya bakal aktif untuk seterusnya." Adel menjelaskannya panjang lebar, membuat otakku sibuk bekerja.

Mendengar penjelasan dari Adel membuatku panik. Muncul pertanyaan di benakku, apakah seterusnya aku harus menerima ini seumur hidupku?

"Tapi jangan nyerah dulu Ram, ada solusinya kok," ucap Adel tiba-tiba.

"Solusi gimana, Del?" tanyaku sigap dengan penuh harap.

"Hmmm, agak susah jelasinnya sih Ram. Simple-nya itu, semacam punya remote TV yang ada tombol ON / OFF nya. Jadi kamu bisa aktif dan matiin mata ketiga sesuai keinginan kamu. Tapi untuk mencapai tahap itu, kamu harus punya energi yang jauh lebih kuat dari sekarang dan harus bisa mengontrol emosi. Intinya sih kamu harus bisa memahami diri kamu sendiri Ram. Mungkin solusi untuk saat ini, kamu bisa coba meditasi secara rutin dulu Ram." Sepertinya aku lebih banyak menyimak apa yang diucapkan oleh Adel ketimbang dosen yang menjelaskan lebih dari dua jam.

"Berarti sekarang aku harus terpaksa jalanin hidup kayak gini ya Del?" tanyaku lesu.

"Ga ada pilihan lain Ram," jawab Adel.

Tiba-tiba Adel meraih tanganku lalu menatapku mataku dalam-dalam, "Kamu pasti bisa kok Ram, percaya sama aku."

Lalu tanpa berkata apa-apa, Adel membuka pintu kelas, lalu memegang erat tanganku. Dia pun menapakkan kakinya keluar dari ruangan kelas. Begitu juga aku yang terpaksa mengikutinya dari belakang. Baru saja keluar dari pintu, pemandangan itu lagi-lagi muncul didepanku. Segerombolan makhluk halus berwujud mengerikan itu masih pada posisi yang sama sambil menatap kami dengan sinis.

"Darah manis," ucap salah satu makhluk halus berwujud wanita dengan wajah yang gosong.

"Kakakakaka ... Hihihihihi...." Mereka tertawa sembari menatap kami penuh dengan nafsu. Mata mereka yang merah seakan menyala-nyala.

"MINGGIR KALIAN!" teriak Adel yang terdengar menggelegar.

Makhluk-makhluk itu seketika terpental dan menjerit kesakitan. Sosok mereka lantas menghilang dari seluruh lorong. Aku kembali shock, tapi kali ini oleh sosok Adellia.

Saking kerasnya, bunyi teriakan Adel menggema disepanjang lorong. Orang-orang yang sedang berada disana tampak kaget, lalu menatap Adel dengan heran. Mungkin yang ada dibenak mereka, apakah wanita itu punya penyakit mental?

"Ayo pergi, Ram," ajak Adel dengan santainya sambil menggandeng tanganku.

Sementara itu, orang-orang yang ada disana bertepuk tangan dan bersiul melihat kami berdua yang jalan bagaikan pengantin baru. Perasaanku terasa campur aduk, dari yang awalnya takut berubah menjadi kagum lalu berubah lagi menjadi malu. Entah kenapa, aku selalu mengalami hal-hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, sejak mengemban status mahasiswa.

<><><>

Sesampainya di taman, Adel masih saja menggengam lenganku.

"Kayaknya, udah bisa dilepasin deh Del." Aku berdiri canggung sembari menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak sama sekali gatal.

Adel tersenyum lalu berkata, "Emangnya kamu udah ga takut lagi, Ram?"

"Nggak, Del," ucapku dengan penuh keraguan.

"Awas dibelakang kamu, Ram," ucap Adel dengan raut wajah panik.

Reflek aku berlindung di belakang Adellia, "Ehhhhh ...."

"Pffft ...." Adel seketika menutup bibirnya dengan kedua tangannya. Begitu juga dengan beberapa orang yang sedang lewat, mereka menatapku dengan aneh.

"Parah bener nih becandanya, Del," ucapku kesal.

"Siapa suruh pake bohong segala Ram, hahaha." Adel lalu menjulurkan lidahnya untuk mengejekku.

"Namanya juga lagi usaha biar berani, Del." Aku mengeluh dengan lesu.

"Omong-omong, kok kamu bisa berani banget, Del?" tanyaku penasaran.

"Karena aku dari kecil udah biasa lihat mereka, Ram. Wujudnya seserem apa pun jangan takut, Ram. Marahin aja kalo berani ganggu kamu. Soalnya, mereka makin seneng kalo yang digangguin itu takut," jelas Adel.

"Makasih banyak Del, udah mau bantuin. Tapi untuk seterusnya, boleh gak kalo kita berangkat sama balik ke kampus barengan?" pintaku dengan malu.

"Pffffttttt... boleh aja Ram, tapi ga harus pake gandengan tangan kan?" jawabnya sambil menatapku dengan jahil.

"Lanjut mulu nih ngejeknya. Mending balik aja yuk Del, sebelum pada rame lagi." ucapku buru-buru karena merasa hawa-hawa tidak enak mulai muncul di batinku.

"Iyaa ... iyaaa ..., sini deket sama kakak, hahaha," ejek Adel tak henti-hentinya.

Begitulah, pengalaman pertamaku bertatap muka langsung dengan mereka para makhluk halus. Yang nantinya akan menjadi awal aku mendalami dan menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan bangsa mereka. Ini akan menjadi titik awal aku mulai menemukan apa itu arti dari persahabatan, cinta, dan tujuan hidupku.

Bersambung ...

Awakening - Sixth SenseWhere stories live. Discover now