45|Terimakasih banyak.

326 53 6
                                    

Rahel tidak menangis. Justru hatinya menjadi sangat lega. Meski hanya sebagian, setidaknya surat yang ditulis oleh Agam memberikan sedikit kejelasan. Iapun melipat kembali surat itu dan meletakkannya di atas meja. Lalu ia beralih ke tumpukan kertas itu.

Benar saja. Agam telah mengumpulkan brosur-brosur dari semua universitas yang memiliki fakultas kedokteran di seluruh penjuru kota ini. Tak hanya itu, Agam juga memberikan sebuah catatan berisi tanggal-tanggal penting yang harus Rahel ingat. Seperti tanggal pendaftaran seleksi, tanggal pelaksanaan, dan sebagainya.

Agam juga mencantumkan informasi yang Rahel butuhkan. Cara mendaftar, dan segala seluk-beluknya, sudah Agam kumpulkan di sana.

Ada sebuah note kecil.
'Hel, buka laci, Hel.'

Rahel menurut. Ia membuka laci meja tersebut. Dan alangkah terkejutnya ia. Agam benar-benar memberikan sebagian uangnya untuk Rahel. Ada buku tabungan di sana dan tidak usah diragukan lagi, nominal yang tertera sangat cukup untuk biaya hidup Rahel.

Tidak hanya itu, ada sebuah kotak merah. Ukurannya tidak terlalu besar. Namun juga tidak kecil. Rahel membukanya perlahan.

Sebuah kalung emas putih. Liontinnya berbentuk hati. Jauh lebih berkilau daripada gelang berliontin kupu dari Bagas yang sekarang sedang ia kenakan. Entahlah. Kenapa juga ia harus membandingkan hadiah Agam dengan gelang pemberian Bagas.

Rahel bertambah takjub saat menyadari ada yang berbeda dari liontinnya. Bentuk hati itu bisa dibuka. Persis seperti liontin yang Rahel inginkan empat tahun lalu, saat mereka Rahel dan Agam SMP pergi melihat pasar malam. Bagaimana Agam bisa mengingatnya, di saat Rahel sendiri sudah hampir terlupa.

Rahel tersenyum. Di dalam liontin yang tidak terlalu besar itu, tersematkan foto mama, papa, dan Leo di belahan sebelah kanan. Fotonya tidak terlalu besar. Namun Rahel bisa mengenalinya.

Sementara itu, di belahan kiri, tersematkan foto Rahel, Cinta, dan Agam. Entah kapan mereka mengambil foto indah itu. Rahel benar-benar lupa.

Rahel menutupnya kembali dan segera memasangkan kalung itu di lehernya. Kemudian, ia melepas gelang pemberian Bagas. Entah, ia rasa ia harus melepas gelang itu. Gelang itu juga tidak memiliki manfaat untuk dirinya. Selain itu, sekarang ia sedang mengenakan kalung dari Agam. Tidak etis jika ia menggabungkannya dengan barang pemberian Bagas.

Rahel tersenyum lebar. Ia sangat senang dengan kalung itu.

Ternyata, dalam kotak kalung, terdapat catatan kecil juga. 'Sebenernya gue juga belum tau mau ngapain di Paris. Tapi gue janji, suatu saat lo bakal suka sama apa yang gue hasilin. Tunggu ya, Hel. Tetep bahagia, oke?'

"Oke!"

Bibirnya semakin tertarik. Kini senyuman Rahel bertambah lebar hingga terlihat deretan giginya.

Sambil memegangi liontin kalung itu, ia bergumam, "Ya Tuhan, terima kasih banyak. Engkau sangat baik. Sekali lagi terima kasih sudah memberikan hal indah seperti ini. Terima kasih."

°°°

Beberapa bulan setelahnya.

Rahel meletakkan sebuket bunga hasil rangkaiannya di atas gundukan tanah tempat mama bersemayam. Mama dimakamkan di pemakanan yang berbeda dengan papa dan Leo. Tempatnya sedikit lebih jauh dari rumah. Namun, Rahel sudah berjanji akan selalu mengunjunginya.

Ia duduk dengan tenang sembari melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Ia mendoakan yang terbaik, tidak hanya untuk mama, tetapi juga untuk yang lainnya.

"Ma, Mama apa kabar?" Tentu saja tidak ada suara lain. Hanya kicauan burung dan hembusan angin yang menjawab pertanyaannya.

"Mama gak usah khawatir ya, tidur yang tenang. Rahel nggak sendiri kok. Ada Cinta, Agam, Acha, Hana, temen-temen yang lain, ada mama, papa, Leo. Semuanya ada di hati Rahel, Ma. Rahel nggak pernah kesepian."

Ia menghembuskan napas, lalu mulai lanjut bercerita.

"Ma, Rahel diterima loh di fakultas kedokteran. Ya meskipun bukan di univ bagus sih. Tapi, Rahel janji, Rahel akan melakukan yang terbaik kok, Ma. Janji. Rahel gak akan kecewain semuanya. Rahel gak akan kecewain mama, papa, Leo. Rahel juga gak akan kecewain Agam.

Rahel sedikit nyesel sih, Ma. Rahel udah nyakitin hati orang sebaik Agam. Bener kata mama, harusnya Rahel pacaran aja sama Agam, jangan Bagas. Ngomong-ngomong, Bagas udah minta maaf sama Rahel, tapi lewat Cinta, trus pergi gitu aja, gak pernah nemuin Rahel. Tapi gapapa, Ma. Rahel udah gak peduli sama orang kayak Bagas.

Mau dia ngapain kek, Rahel udah bodoamat kok, Ma.

Oh iya, Ma. Sekarang rumah kita lumayan rame. Soalnya Rahel buka toko bunga. Awalnya Rahel pengen buka toko kue, tapi Rahel gak bisa masak. Jadi bunga aja, hehehe. Gak besar sih, Ma. Tapi lumayan buat tambahan uang jajan. Nyenengin juga lihat anak seumuran Rahel beliin bunga buat pacarnya. Rahel jadi kangen Agam deh, Ma. Kira-kira Agam lagi ngapain ya?

Kira-kira Agam juga kangen Rahel gak ya? Ah, gak mungkin. Pasti sekarang Agam lagi sibuk. Semoga urusan Agam lancar ya, Ma.

Ma, mulai hari ini, Rahel bakal belajar bener, Ma. Rahel bakal lulus cepet. Trus sisa uang kita yang buat kuliah, mau Rahel pake buat nyusul Agam ke Paris. Doain ya, Ma. Semoga bisa lancar dan cepet."

Rahel memandangi langit yang mulai gelap. "Mama, Rahel pulang dulu, ya. Udah mau hujan."

Rahel mengusap batu nisan mama pelan. Kemudian berjalan menjauh setelah mengucapkan salam.

Mulai hari ini ia akan berjuang. Ia akan belajar dengan sungguh-sungguh. Ia akan menjadi dokter yang baik. Ia akan menjalani hidup dengan baik. Dan suatu hari nanti, ia akan pergi menyusul Agam, lalu membawanya pulang.

Semoga semesta mendukung seluruh rencananya. Dan semoga takdir tidak mengkhianati usahanya.

💚💚💚


always youWhere stories live. Discover now