39|Maa..

239 51 4
                                    

Siang ini Rahel mengecek lagi ponselnya. Tuhkan gak dibales, dasar sombong, rutuknya pada Agam. Sebenarnya Agam membaca pesan yang dikirim Rahel beberapa hari lalu, tapi entahlah, ia tidak mau menjawab. Sombong.

Iapun meletakkan ponselnya dan kembali fokus belajar. "Ayo, Hel, semangat! Tinggal lusa." Semangatnya pada diri sendiri. Ah, memang tidak ada yang bisa diandalkan kecuali dirinya sendiri.

Cuma di yang bisa diandalkan. Bukan Bagas, bukan Angga, bukan Agam, bukan yang lain. Saat sepipun, hanya dirinya sendiri yang bisa menemani. Emtahlah, terlalu berbelit.

Baru saja ia akan belajar, ponselnya bergetar. Ada telpon masuk dari mamanya.

"Halo, Ma."

'Halo, Mbak.' Mata Rahel membelalak terkejut. Ini bukan suara mamanya, melainkan suara seorang pria yang sangat asing di telinganya.

"Loh, bapak siapa? Mama saya di mana?" Tanya Rahel setengah berteriak. Ia panik.

'Mbak, ibunya kecelakaan. Tolong segera ke rumah sakit ya, saya kirimkan alamatnya.'

Tangan Rahel bergetar. Lidahnya kelu, pikirannya sudah berjalan begitu jauh. Bagaimana kalo kejadian di masa lalu terulang? Bagaimana kalo mama menyusul papa dan Leo? Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Tanpa aba-aba air mata mengalir begitu saja melalui pelupuk mata.

Dengan segera, ia menggelengkaan kepala. "Mama pasti baik-baik saja." Ia segera meraih kunci mobil dan dompetnya. Lalu menyusuri jalan menuju lokasi yang dikirimkan. Sepanjang perjalanan, tak berhenti ia menangis. Sungguh ia ingin cepat sampai, ia ingin tau bagaimana keadaan mamanya.

Untung saja jaraknya cukup dekat. Dan malam ini, tak banyak kendaraan lalu lalang, jadi tidak butuh waktu lama untuk Rahel tiba di rumah sakit.

Ia segera masuk dan mencari keberadaan mamanya. Kata perawat, mamanya ada di IGD. Rahel langsung berlari menuju ke sana. Dan ia menemukan seorang pria yang sedang memegang ponsel dan barang Sang Mama.

"Mbak anaknya ya?" Bapak itu bertanya. Rahel tidak sempat menjawab, ia terlalu gugup hingga tak sanggup berbicara.

Bapak itu mengerti, dan menepuk pelan punggung Rahel. Tak lama dokter keluar, "Mbak, pasien harus dipindahkan ke ruang ICU." Katanya.

Rahel hanya mengangguk. Memohon supaya dokter menyelamatkan mamanya. "Mohon segera diurus administrasinya ya."

"Baik, Dok, terima kasih." Bapak itu yang menjawab. "Mari, Mbak, saya temani mengurus administrasi."

Rahel hanya mengangguk. Ia berjalan dituntun bapak tadi. Air matanya masih terus mengalir. Ia tak sanggup membayangkan apa yang terjadi. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Padahal mama sedang tidak membawa kendaraan sendiri, tapi kok.

"Mamanya mbak dokter juga ya?" Rahel hanya mengangguk. Kini mereka berdua duduk di depan ruang ICU. "Mulia sekali. Mbak gak perlu khawatir. Orang baik pasti ada yang menolong." Ucap bapak itu.

Kemudian, bapak itu mulai menceritakan kronologi. Bapak itu adalah seorang satpam yang sedang bekerja menjaga pintu masuk perumahan. Lalu, saat ia sedang berjalan di jalan raya untuk membeli rokok, ada sebuah ambulan yang berjalan sangat cepat dari kejauhan. Padahal sedang banyak kendaraan di jalan raya sempit itu.

Lalu, ada seorang lansia yang tiba-tiba menyeberang ke jalan. Refleks sopir membanting setir ke kiri dan menabrak sebuah pohon besar. Tepat 180 derajat dari posisi bapak itu berdiri. Dan katanya, si sopir ambulan meninggal di tempat.

Tangis Rahel semakin menjadi. Bagaimana bisa? Biasanya mama tidak pernah ikut naik ambulan, kenapa hari ini ikut?

"Padahal mama gak pernah ikut jemput pasien sebelumnya." Ucap Rahel sesenggukkan.

always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang