33|Kotak hadiah misterius.

266 72 15
                                    

Rahel menatap nanar ke arah dua kartu yang sedang ia pegang. KTP. Dan SIM. Hidup cepat sekali berubah. Dulu, ia sangat ingin memiliki SIM, supaya bisa mengemudi kemanapun yang ia inginkan.

Ia sangat ingin berkelana keliling dunia dengan mengendarai mobilnya. Tentu bersama Agam, orang yang dulu berjanji akan menemaninya berkelana. Tapi apa buktinya?

Kini Agam sudah pergi. Dunianya benar-benar menjadi sepi.

Ia meletakkan dua kartu itu di atas meja. Oh iya, sekarang ia sedang duduk di salah satu bangku pada sebuah kafe. Kafe yang tempo hari pernah ia kunjungi bersama Agam dan teman-temannya yang lain. Apa masih bisa disebut tempo hari? Lebih tepat jika disebut dulu.

Tidak ada yang bisa menggantikan kafe ini di hati Rahel. Akhir akhir ini, ia sering sekali nongkrong di sini. Eh, apa ada orang nongkrong sendirian?

Sudah sudah, anggap saja ia nongkrong dengan makhluk yang tidak bisa orang lain pandang dengan mata telanjang.

"Tujuh belas." Gumannya pelan, lalu menyeruput matcha dingin yang tadi ia pesan.

Ah, tujuh belas. Rasanya banyak sekali yang berubah setelah melewati ambang angka itu.

Sejak ia meniup lilin berbentuk angka sial itu, dunianya yang kelam semakin menghitam legam.

Harusnya ia mati saja sehari sebelum hari ulang tahunnya. Supaya Bagaskara hanyalah jadi mimpi indah yang cuma bisa ia bayangkan. Supaya kenangan terakhir di hidupnya hanyalah kenangan manis tentang Agam.

Pacaran dengan Bagaskara ternyata tidak seindah ekspetasinya. Sial. Kenapa terbesit di pikirannya untuk kembali ke masa itu. Masa saat Agam sering menyatakan cinta padanya. Andai waktu itu ia terima.

"Astaghfirullah."

Kenapa pikirannya tiba-tiba liar?

"Lo Rahel ya?" Tiba-tiba seorang barista tampan menghampirinya.

"I-ya." Jawab Rahel terkejut. Kenapa barista ini mengenalnya? Kalo Rahel sih bisa mengenalinya setelah membaca dari name tag yang dikenakannya. Tapi dia? Rahel tidak sedang memakai tanda pengenal.

"Ya kali gue gak kenal sama pelanggan yang hampir setiap hari ke sini." Seolah mengerti pikiran Rahel, barista tersebut tiba-tiba memberi penjelasan.

"Lo indigo?"

Ia tertawa. "Gue gak bisa lihat hantu, Hel."

Rahel kikuk. Ia ingin memanggil namanya, tapi pakai embel-embel kakak atau abang gak ya? Nanti kalo pake, ternyata dia seumuran. Ah susah sekali menebak umur seseorang.

"Gue gak tua-tua amat kok. Selisih dua tahun, panggil nama aja."

"Loh bener kan?! Lo indigo, bisa baca pikiran orang."

"Susah ngomong sama orang kurang pergaulan." Ia terkekeh. "Kenalin, gue Angga. Gue mahasiswa psikologi kalo lo pengen tau." Ia mengulurkan tangan kanannya.

Rahel menjabat tangannya. Kemudian mempersilahkan Angga duduk. Kebetulan kafe sedang tidak terlalu ramai. Setelah berbincang sebentar, Angga pamit pergi mengambil sesuatu. Tak lama, ia kembali lagi membawa sebuah kotak hadiah.

"Kata seseorang lo ulang tahun."

"Seseorang siapa?"

"Dia titip ini sama gue, kalo lo tanya kenapa gak ngasih langsung, katanya biar sok misterius."

"Ulang tahun gue udah berbulan-bulan lalu. Lagian siapa sih yang ngasih?" Ucap Rahel sembari membuka kotak itu. Ia terkejut. Isinya sungguh-sungguh membingungkan. Tapi ini indah.

"Buka." Ucap Angga.

Di dalam kotak itu, ada sebuah kalimba, dan satu kotak hadiah lagi yang tentu lebih kecil. Lalu, Rahel membuka kotak itu lagi.

Ternyata isinya sebuah buku catatan. Warnanya hitam. Baru Rahel membuka halaman pertama, tapi sang pengirim melarangnya.

Ada sebuah peringatan yang dicetak tebal di dalamnya. "JANGAN DIBUKA DI DEPAN ANGGA, NANTI DIA YANG BAPER. KASIAN, ANGGA GAK PUNYA PACAR." Sontak, Rahel menatap Angga.

"Kenapa?" Angga kebingungan. Dan Rahel sedikit bersyukur. Ternyata benar, Angga tidak bisa membaca pikiran orang lain, ia hanya mahasiswa psikologi yang pandai menebak-nebak.

"Gue ganteng ya, Hel?"

"Idih, pede." Rahel tertawa kecil sambil membungkus kembali kotak hadiah itu.

"Dari siapa, Ngga?" Tanya Rahel. Tentu merujuk pada kotak hadiah itu.

"Dari orang yang cinta sama lo. Katanya, sekarang kalian lagi jarang bareng, jadi dia takut lo rindu."

"Siapa?"

"Teman baik gue. Dia gak mau disebutin namanya. Kan biar misterius. Eh udah dulu ya, kafe udah rame, kasian temen gue."

"Eh iyaa, makasih ya, Angga. Seneng bisa kenalan sama lo."

Angga tersenyum sambil menggerakkan tangannya seolah memberi penghormatan pada Rahel.

Rahel masih duduk. Ia tersenyum membayangkan satu nama. Satu nama yang paling mungkin melakukan ini semua.

Dengan segera ia mengirimkan sebuah pesan kepada seseorang itu.

"Terima kasih ya, Bagas."

°°°

Sesampainya di rumah, Rahel membuka kotak hadiah tadi. Saat sampai di halaman pertama, ia tertawa sendiri. Kasian banget Angga, ganteng-ganteng masa gak punya pacar. Padahal, kalo Rahel tidak punya Bagas, pasti ia naksir berat sama Angga.

Ia membalik bukunya. Terdapat tata cara memainkan kalimba, sekaligus not dari sebuah lagu yang tidak dicantumkan judulnya.

Rahel membaca sekali, lalu langsung mempraktekkannya. Aneh, padahal ia baru kali ini menyentuh alat musik, tapi langsung bisa. Dari nadanya, sepertinya ia tau judul lagu ini.

Ia memainkan sekali lagi.

"My heart will go on."

Ah Bagas, romantis sekali. Selain tau cara mengajari Rahel bermain alat musik, ternyata Bagas juga pandai membuatnya merasa dicintai. Beruntung sekali ia punya pacar seperti Bagas. Ia tarik semua pemikiran buruk tentang Bagas.

Ternyata Bagas tidak seburuk itu. Meski ia sibuk belajar dan menganggurkan Rahel, ia masih sempat memberi hadiah indah seperti ini.

Lalu ia membuka lembar ketiga.

"Lima belas lembar berikutnya, isinya foto. Buka aja, kagumi kecantikannya."

Seperti itu catatan yang tertera di sana. Btw, semua catatan dari buku itu diketik, tidak ditulis tangan. Jadi Rahel tidak bisa memastikan buku ini dari siapa. Tapi ya itu, yang paling mungkin hanya Bagas.

Rahel menurut. Ia membuka lembar demi lembar. Memang benar, semua berisi fotonya.

Pasti Bagas bersusah payah mengambil foto-foto ini, pikir Rahel. Sebab semua fotonya sangat indah. Semua fotonya berhasil membawa Rahel kembali ke momen-momen menyenangkan itu.

Ada satu foto yang paling ia ingat. Foto saat mereka jalan-jalan ke mal. Saat Bagas membelikannya beanie hat, hadiah pertama dari Bagas.

Kalo ada nominasi pacar teromantis, pasti Rahel akan memberikan penghargaan itu kepada Bagas sekarang juga. Pasti itu.

"Yah udah abis fotonya." Rahel berhenti membalik. Lima belas lembar berisi fotonya sudah habis. Kini kembali terdapat sebuah catatan.

"STOP! BOLEH BACA LAGI KALO LAGI KESEPIAN BANGET."

Bersamaan dengan Rahel menutup buku, sebuah pesan dari Bagas masuk.

'Mbb, sayang. Aku baru selesai ngerjain tugas esay.'

Buru-buru Rahel membalas pesannya.

'Sekali lagi terima kasih ya, Bagas sayang.'

Tak lama, Bagas membalas.

'Sama-sama.'

💚💚💚

always youWhere stories live. Discover now