25|Gam?

306 91 20
                                    

"Lah, By, ya gak bisa gitu dong." Protes Rahel. Sejak ia sampai di kelas ini, ia terus saja memprotes. Ia bersikeras supaya Byan tidak jadi mengacak tempat duduk.

"Kan udah gue bilang, wali kelas minta gitu."

"Ya kan lo harus minta persetujuan dulu sama kita." Acha juga marah, sebab ia mendapat tempat duduk dengan Tama yang menurutnya sangat menyebalkan.

"Noh, lihat ada yang gak setuju juga."

"Tapi banyak setujunya."

"Lagian siapa sih yang ngacak? Nih kalo Agam masuk pasti dia juga gak setuju."

"Gue setuju kok. Tempat duduk gue yang baru mana, By?"

"Agam?" Rahel terdiam beberapa saat. "Kok lo gitu sih?! Kita itu harus sebangku, Gam. Bisa susah gue kalo pisah bangku sama lo."

"Gue pusing, Hel. Gak usah ngribetin gue deh. Mana tempat gue, By?"

"Sono sama gue." Agam meninggalkan Rahel yang masih berdiri di depan papan tulis.

Rahel memperhatikan Agam. Tubuhnya terlihat sehat. Lukanya juga sudah memudar, hampir hilang malah. Dan ia sudah tidak masuk sekolah selama 8 hari termasuk sabtu dan minggu. Tapi masih pusing?

Kenapa sih dia?

"Udah sono duduk sama si Tami." Byan membuyarkan fokus Rahel.

"Cih." Dengan berat hati, akhirnya Rahel berjalan menuju bangkunya. Bangku tengah, di samping Mita si ratu gosip. Ah pasti sangat menyebalkan.

Di bangku lain, Byan menepuk pundak kawan sebangkunya itu berulang kali untuk memberikan semangat. Menyiratkan harapan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Thanks udah bantu gue, By."

°°°

Mulai dari tidak masuk sekolah selama 8 hari, setuju untuk pisah bangku dengannya, dan sekarang tidak mau makan di kantin. Rahel sangat yakin ada sesuatu buruk yang menimpa Agam. Tapi sesuatu itu apa, Rahel tidak tau. Rahel terlalu bodoh untuk memperkirakan jawabannya.

"Gam mau ke mana sih? Kantinnya ke sono." Ia mengejar Agam yang entah akan menuju ke mana. "Yaudah lo ke sana aja. Gue lagi gak pengen makan."

"Yaudah lo mau ke mana, gue ikut."

Agam diam. Dan Rahel terus berusaha untuk menyetarakan langkah dengan Agam. Sampai ada yang memanggilnya dari belakang, "Hel, Rahel!" Panggil orang itu yang refleks membuat Rahel berhenti mengejar Agam. Tapi Agam tak berhenti sedikitpun. Ia semakin menjauh.

"Ayo makan." Ajak orang itu sambil mengangkat kotak bekal yang ia bawa. "Gue lagi males ke kantin." Jawab Rahel, lalu ia menengok lagi ke arah Agam pergi, tetapi Agam sudah hilang seolah di telan bumi. Agam lo mau ke mana sih?!

"Yaudah lo mau makan di mana? Gue temenin." Orang itu tersenyum. Sungguh, senyuman itulah yang selama ini Rahel dambakan. Rahelpun mencoba mengabaikan Agam dan mulai fokus dengan Bagas.

"Yaudah ke lapangan bola yuk, Gas."

"Ayo"

Akhirnya mereka berdua makan bersama. Beralaskan rumput hijau dengan atap awan biru ciptaan Tuhan. Rasanya, beberapa mimpi Rahel sudah terwujud saja. Beberapa doanya sudah dikabulkan oleh Tuhan.

Berangkat sekolah bersama Bagas. Mendapat hadiah juga darinya. Dan sekarang, Bagas tak hanya mengantarkan bekal, tetapi juga menjemputnya untuk makan siang bersama. Ya Tuhan, indahnyaa.

"Enak, Hel?"

"Enak kok enak." Jawab Rahel sambil mengunyah makanan yang tertampung di mulutnya. Rasa makanannya sedikit beda sih dengan buatan bunda, tapi tetap enak.

"Gue yang bikin saladnya."

"Hah?" Syok, Rahel benar-benar syok. Bagas memasak untuk bekal? Kapan? Kok Rahel gak lihat tadi? Emangnya sejak kapan Bagas bisa memasak?

"Udah habisin aja."

Rahelpun menurut. Ia memakan salad bikinan Bagas sambil sesekali menanggapi pertanyaan Bagas.

"Lo gak suka sayur apa aja, Hel?"

"Gue doyan semua sih, tapi ada banyak yang gak suka. Mentimun tuh parah gue gasuka."

"Kenapa?"

"Aneh banget. Rasanya kek rumput."

"Hah? Apa iya? Emang lo pernah makan rumput?"

"Pernaaahh."

"Serius? Kok bisa?" Bagas sedikit tertawa. Rahelpun menaruh tempat bekalnya yang tinggal sesuap itu, dan bersemangat untuk cerita.

"Iya pernah. Dikasih makan sama Agam. Gila tuh orang. Dikira gue anak kambing apa gimana." Pikirannya kembali pada masa itu dan dengan fasih ia menceritakan semuanya pada Bagas. "Masa iya pas SMP, gue lagi rebahan di lapangan kan, trus merem sambil ngobrol sama dia. Tiba-tiba mulut gue disumpelin rumput, Gas. Bayangin aja, gila emang tuh orang. Untung yang nempel di lidah cuma rumputnya aja, tanahnya enggak."

"Hahaha, gitu ya." Bagas tersenyum kikuk. Terasa aneh. Bagas tidak menyukai semua topik tentang Agam.

"Bodoh banget sumpah." Rahel mengambil suapan terakhir dadi tempat bekalnya. Uhuk uhuk. Tiba-tiba ia tersedak. Dan terbatuk-batuk tanpa henti.

"Eh, Hel, kenapa?" Bagas panik. "Aduh bentar gue beli minum." Dengan segera Bagas berlari menuju kantin untuk membeli minum.

Rahel masih terbatuk-batuk. Air mata keluar dari matanya. Dan ia yakin, itu bukan sekedar air mata akibat batuk. "Kok malah nangis sih?" Tanyanya pada diri sendiri.

Batuknya mereda. Tapi tangisnya belum. Namun segera ia hapus saat melihat Bagas berlari dari kejauhan. "Ini, Hel, minum." Setelah membuka tutup botolnya, Bagas memberikannya pada Rahel.

Rahel minum. Tenggorokannya terasa lebih lega. "Thanks, Gam."

"Gam?" Buru-buru Rahel membenarkan perkataannya, "Gas maksud gue. Mirip hehehe."

"Oh." Bagas hanya mengangguk dan mulai membereskan kotak bekalnya. Begitupun Rahel.

"Udah mau bel." Ucapnya singkat.

"Lo balik duluan aja. Gue habis ini jam kosong."

"Gue tinggal nih? Gak papa?"

"Iya gak papa."

"Yaudah duluan yaa." Pamit Bagas yang kembali berlari untuk kembali ke kelas.

Rahel masih diam. Ia duduk sendiri. Sembari memandangi rumput yang terkena terik matahari. Hatinya terasa sangat kosong. Ia bingung sekali akan melakukan apa di sini.

Belum ada sedikitpun niat yang mendorongnya untuk kembali ke kelas. Menurutnya kelas sekarang membosankan. Tentu sebab perubahan sikap Agam.

°°°

"Akhirnya pulang juga, Ya Allah." Seru Rahel saat bel pulang sekolah sudah berbunyi. Rasanya ia seperti baru terbebas dari neraka. "Emang lo mau ke mana, Hel?" Tanya Mita yang duduk di sampingnya. 

Percayalah, sebelum hari ini, Mita tidak pernah bertanya hal tidak penting seperti itu kepada Rahel. Jadi Rahel sedikit enggan untuk menjawab. Tapi jawab sajalah, kan harus baik sama semua. "Mau pulang lah, emang mau ke mana lagi?" 

"Ya siapa tau lo mau ekstra, atau jalan-jalan gitu." Rahel belum menjawab, ia masih sibuk membereskan barang-barangnya. Nah, sudah selesai. "Emang lo gak tau kalo gue gak ikut ekstra, gue juga gak punya temen buat diajak jalan-jalan, Mit."

"Ya udah, kalo gitu ikut gue nongkrong aja, kebetulan gue lagi gak punya temen."

Mata Rahel berbinar. Baru saja ia hendak bernegosiasi dengan teman sebangku barunya itu, ia melihat Agam berjalan cepat ke luar kelas. "Eh, nggak deh, lain kali ya, gue buru-buru." Iapun segera meraih tas ranselnya dan bergegas mengejar Agam. 

Langkah Agam semakin cepat dan Rahel gagal menyeimbanginya. Ia berhenti, lalu meneriaki Agam dengan suaranya yang bisa dibilang tidak cukup lantang. Namun ia yakin, jika Agam masih berteman dengannya, pasti Agam mendengar.

"AGAM!! JAM DELAPAN GUE TUNGGU DI RUMAH YA! BAWA MARTABAK TELOR!"

💚💚💚

always youWhere stories live. Discover now