9|Pungguk dan bulan

568 264 61
                                    

Bagas sudah benar-benar pasrah. Ia tidak tau lagi caranya untuk menghindar. Sementara itu, Alex mengangkat balok kayunya lebih tinggi lagi dan bersiap untuk memukulkannya kepada kepala Bagas.

Bagas menutup matanya lekat-lekat. Alex mulai membanting balok kayunya. Dan....

BRAKK!

Hantamannya begitu keras.

Bagas membuka matanya, apa yang terjadi? 

"ARGH sakit banget bangsat." 

"Agam?" Orang yang Bagas panggil Agam itu tersenyum miring ke arahnya. Agam yang tadinya membungkukkan badan untuk melindungi Bagas dari hantaman kini berdiri. Ia menggertakkan jari-jarinya dan menatap tajam ke arah mereka semua. "Beraninya keroyokan." Lagi-lagi ia tersenyum miring. 

Kemampuan berkelahi Agam memang jauh di bawah Bagas, tapi setidaknya ia bisa mengulur waktu sampai bala bantuan datang. "Ada yang nolongin juga ternyata." Alex berbicara lagi.  Kini ia sudah tidak memegang balok kayu lagi. Ia juga sedikit mundur, tidak terlalu dekat dengan Agam dan Bagas. 

"Lo anteknya Bagas? Siapa nama lo?" 

Agam tersenyum sekali lagi, lalu menyebutkan namanya dengan tegas, "Agam Antonio, lo inget-inget nama gue sampe mampus." 

"Kayaknya lo yang bakal mampus." Alex menengok ke arah anak buahnya, mengisyaratkan untuk mulai menyerang Agam. Dan tanpa menunggu lama, mereka menyerang Agam, sama seperti tadi mereka menyerang Bagas. Tapi Agam tau tentang kemampuannya yang cukup buruk, jadi ia sempat memungut balok kayu yang ada di dekatnya.

Brak, balok kayu Agam mengenai beberapa dari mereka. Tidak terlalu sulit, mungkin karena mereka sudah kelelahan melawan Bagas tadi. Tapi mereka tidak cepat menyerah, mereka masih terus-terusan menyerang. Sampai akhirnya ada cahaya terang dari jalanan di belakang Bagas. Bala bantuan sudah datang!

°°°

Sebuah taksi berhenti di depan rumah Bagas. Cinta dan Rahel yang kebetulan sedang duduk di teras segera menyambut. Sebenarnya Rahel tidak jadi menonton series, ia sangat khawatir dengan Agam yang tidak menjawab pesannya. 

Turunlah Agam yang membopong Bagas dari taksi tersebut. Cinta langsung berlari dan membantu membopong Bagas. Rahel menutup mulutnya rapat-rapat, ia diam seribu bahasa melihat tubuh Bagas yang begitu mengenaskan. Ia juga sangat khawatir dengan Agam. Meski tidak terlihat ada luka di tubuh Agam, pasti dia juga ikut berkelahi tadi. 

"Hel, bantuin woi, lebarin pintunya." Sentak Agam membuyarkan lamunannya. Iapun segera membuka pintu lebih lebar dan mengikuti mereka bertiga yang berjalan menuju sofa. Setelah mendudukkan Bagas, Cinta segera mengambil P3K.

Rahel masih berdiri di sana, memandangi Bagas dan Agam dengan tatapan yang bisa diartikan, takjub. Ia sudah sering melihat Agam babak belur karena memang Agam tidak jago berkelahi, tapi ini Bagas loh. Pimpinan geng, ternyata bisa juga seperti ini.

Tapi jauh di lubuk hatinya, ia begitu khawatir. Tidak hanya kepada Bagas, tetapi juga pada Agam. 

Cinta kembali dan mulai mengobati luka Bagas. Bagas hanya diam saja dan sesekali mengaduh. "Agam, sini." Panggil Rahel. 

Agam yang duduk di samping Bagaspun mendekat ke Rahel yang posisinya sudah duduk beralaskan karpet. Lalu Agam duduk di depan Rahel.  

"Lepas jaketnya." Agam menurut. Rahel memang selalu seprotektif itu saat Agam selesai tawuran. Semalam apapun itu, Rahel selalu bersedia merawat luka Agam. Bahkan ia sudah meminta Agam berjanji untuk selalu datang kepada Rahel saat terluka.

"Lihatin sikunya." Agam masih menurut. Ia mengulurkan kedua tangannya ke depan. Rahelpun mulai mengecek kondisi Agam. 

"Udah, Kepala." Agam memajukan wajahnya sedikit supaya Rahel bisa mengecek. Rahel sangat jeli. Ia bahkan mengecek hingga bagian kepala belakang.

"Buka bajunya." Perintah Rahel yang kali ini membuat Cinta dan Bagas menatapnya tak percaya. Agam juga diam tidak bergeming. "Buka bajunya, Agam." Rahel mengulangi ucapannya, Agam menurutinya lagi. 

Setelah Agam membuka baju, Rahel segera mengecek kondisi Agam. Dari depan terlihat baik-baik saja, tetapi ada luka memar yang cukup besar di punggungnya. Pasti akibat hantaman balok kayu tadi. Dengan sabar Rahel mengompres luka memar itu. 

"Udah dibilangin kan jangan macem-macem. Malah berantem."

"Mana ada? Kapan lo bilang gitu?"

"Kalo udah berantem, pasti gak buka chat gue, kebiasaan. Untung lo selamet, Gam. Tapi aneh juga, kok luka lo dikit amat, biasa juga hancur tuh muka." 

Belum sempat Agam menjawab, seseorang menyahut, "Yang hampir mati itu gue, malah Agam yang lo khawatirin."

"Ya suka-suka guelah. Agam temen gue juga, emang lo siapanya gue?" Rahel membelalakkan matanya, keceplosan, ketauan bangetkan kalo Rahel pengen dijadiin siapa-siapanya Bagas. "Lagian lo ada Cinta." Alibinya.

Rahel kembali mengobati luka Agam, mencoba mengalihkan perhatian dari Bagas. Tapi tidak bisa, semakin mengalihkan perhatian, ia semakin emosi, "Aduh, Hel. Kalo emosi jangan dilampiasin ke luka gue dong, sakit tau." Goda Agam, ia tau jika Rahel sedang merutuki dirinya sendiri saat ini.

Agam terkekeh geli melihat Rahel yang seperti ini. Bukannya lebih hati-hati, justru Rahel menekan luka Agam lebih kuat, membuat cowok itu berteriak kesakitan.

Berbeda dengan Rahel yang sedang merutuki dirinya dalam hati, Bagas sibuk menerka-nerka perasaannya saat ini. Ia merasa tertohok dengan kalimat yang keluar dari mulut Rahel barusan.

"Ya seenggaknya tanya kek keadaan gue, emangnya gue bukan temen lo juga?" Ucap Bagas lirih, namun masih bisa didengar oleh semua orang.

"Emang lo pernah anggep Rahel temen, Gas?" Celetuk Agam sambil tertawa kecil.

Bagas diam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya dan malah mengucapkan kalimat yang sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yng ia inginkan. "Nggak juga sih, gue cuma anggep dia tetangga doang."

"Tuh, Hel dengerin. Tetangga doang." Untuk apa juga Agam memperjelas itu. Rahel sudah mendengar secara langsung dari mulut Bagas. Tidak perlu lagi diterjemahkan oleh Agam. Lagipula, Rahel cukup tau diri kok.

Jika pungguk saja hanya bisa merindukan bulan, maka sama halnya dengan Rahel yang hanya bisa merindukan Bagaskara tanpa pernah punya harapan untuk bisa memiliki.

💚💚💚



always youWhere stories live. Discover now