28|Pulang.

297 85 13
                                    

Malam sudah semakin larut, akan tetapi suasana di sekolah ini semakin ramai. Lebih banyak lagi orang yang berdatangan untuk menonton guest star yang akan tampil malam nanti. Tapi Rahel tidak tertarik untuk menonton, Bagas juga, katanya sudah pernah nonton.

Jadi mereka berdua pergi ke taman kota untuk melihat bazar.

Genggaman tangannya tidak pernah terlepas sedikitpun. Jalannya juga berdempet-dempetan layaknya orang pacaran. Semburat senyumpun tidak kunjung menghilang dari wajah mereka. "Bagas, mau naik bianglala nggak?"

"Lo mau?" Tanya Bagas balik. Rahel mengangguk dengan semangat. Ia senang melihat bintang dari atas sana. "Yaudah ayo." Merekapun pergi ke sana. Membeli tiket lalu naik bianglala. Rahel sangat bahagia, ditambah lagi mulutnya sedang dimanjakan dengan tekstur arum manis yang tadi ia beli.

"Bintangnya indah ya, Gas?" Ia menengok ke samping. Tampaknya Bagas tidak terlalu nyaman dan Rahel bisa membaca sinyal itu.

"Tapi bintangnya dikit, Hel, gak asik."

"Meski cuma beberapa titik, seenggaknya bisa menemani kesendirian langit, Gas. Lo nggak nyaman ya?"

"Ha? Maksudnya?"

"Lo takut ketinggian? Kelihatan banget lo gak seneng."

"Oh, nggak juga, cuma gak terlalu seneng aja. Tapi gak papa kok, kan buat nemenin lo."

"Bisa aja mas pacar."

Keduanya tersenyum. Menetralkan debaran hati masing-masing. Hingga akhirnya bianglala sampai di dasar. Mereka turun. Genggaman tangan masih belum terlepas. Rahel menarik Bagas kesana-kemari untuk melihat permainan.

Kruuk, kruuk. Perut salah satu dari mereka ada yang berbunyi. Bagas meringis secara tiba-tiba, "Gue laper, Hel, hehe."

Rahel sangat gemas, ia mengeratkan genggaman tangannya sambil tersenyum, "Yaudah makan dulu. Maaf ya bikin lo laper, hahaha."

Sambil terkekeh, keduanya mencari tempat makan. Rahel hanya mengikuti ke arah mana Bagas menuju. Ia percayakan seluruh raganya pada Bagas. Hehe, tidak juga sih, memang Rahel tidak terlalu tau kedai mana yang menjual makanan enak. Selama ini kan ia berteman baik dengan raja kuliner, jadi ia tak pernah salah makan sedikitpun.

Bagas menghentikan langkahnya di warung nasi pecel. Rahel setuju saja, karena sejauh ini, semua nasi pecel yang pernah ia makan itu enak.

Mereka duduk beralaskan tikar. Tak lama, dua piring nasi pecel dan dua gelas teh hangat datang. Bagas segera makan karena memang sudah lapar. Rahel juga sudah tak sabar, ia sudah cukup lama tidak makan pecel.

Iapun memasukkan sesuap nasi dengan semangat, namun, 'huek'. Rahel memuntahkan nasinya ke tanah. Untung saja tidak terkena tikar. "Loh kenapa, Hel?" Bagas menepuk-nepuk punggungnya dan menyuruhnya minum teh hangat. Rahel segera minum teh untuk menetralkan rasa di lidahnya.

"Gak papa, Hel?"

"Gak papa kok, masuk angin, kayaknya abis naik bianglala tadi." Alibinya. Sebenarnya Rahel sangat mual setelah merasakan nasi pecel yang tidak karuan rasanya itu. Sungguh ini pertama kalinya Rahel mencoba nasi pecel yang seperti ini. Dan mulai hari ini, ia tidak akan makan nasi pecel lagi. Kecuali jika bersama Agam.

"Mau pulang aja, Hel?"

"Makanan lo?"

"Yaudah, tunggu ya, gue habisin dulu."

"Oke." Bagas mempercepat makannya. Sementara Rahel hanya diam sambil bergidik ngeri membayangkan rasa aneh nasi pecel tadi. Entah mengapa ia jadi teringat Agam.

always youWhere stories live. Discover now