23|Perayaan.

313 100 26
                                    

"Rahel, bangun, Hel." Agam membangunkan Rahel yang tertidur di sofa dengan sangat hati-hati. Suaranya sangat serak, mungkin efek menangis selama berjam-jam. Jangan tanyakan lagi alasan Agam menangis.

"Loh, Agam." Rahel yang mendengar suara Agam segera bangun. Sambil mengucek matanya yang masih tertutup, ia mengucapkan selamat ulang tahun untuk Agam. "Happy birthday, Gam. Happy sweet seventeen birthday, Agam Antonio." Rahel langsung memeluknya.

Lagi-lagi Agam meneteskan air mata.

"Udah lewat harinya, Hel. Sekarang lo yang ulang tahun. Happy birthday ya Rahelaa." Suaranya masih parau. Rahel melepas pelukannya karena terkejut. Ternyata benar, jam dinding Agam sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Dirinya lebih dikejutkan lagi ketika melihat wajah Agam yang dipenuhi lebam. Ada cukup banyak darah di wajahnya. "Loh, kok muka lo jelek? Habis tawuran ya?!" Rahel berdiri dan berlari ke dapur Agam. Ia tau jika Agam tidak mempunyai kotak obat. Makanya ia mengambil termos air, baskom, dan juga handuk.

Ia segera kembali dan membersihkan luka-luka Agam dengan air hangat.

"Udah lama nunggu, Hel?"

"Dieemm!" Sentaknya. "Lo tuh udah tujuh belas tahun, plis stop berantem yang gak ada gunanya. Bukannya gue nglarang lo berantem, Gam. Tapi bisa gak sih, berantemnya itu buat yang penting-penting aja?" Agam diam, mana mungkin ia membela dirinya dengan mengatakan bahwa kali ini ia tidak salah, bahwa Bagaslah yang memukulinya.

Sangat tidak mungkin.

"Nah udah. Sekarang kita ulang tahunan ya?" Rahel tersenyum. Matanya berkaca-kaca, hatinya sangat hancur melihat Agam yang sangat kacau di hari spesialnya. Agam memang sering terlihat kacau, tapi seharusnya tidak di hari ulang tahunnya.

Mereka memakai topi ulang tahun yang sudah Rahel siapkan.

"Selamat ulang tahun, kami ucapkan.

Selamat panjang umur, kita kan doakan.

Selamat sejahtera, sehat sentosa

Selamat panjang umur dan bahagia"

Rahel menyalakan lilin berbentuk angka tujuh belas itu. Mereka menatap lilin itu lekat-lekat. Keduanya meneteskan air mata. Hingga tanpa sadar, lilin sudah meleleh hampir setengahnya.

"Mau ditiup kapan lilinnya?" Agam bersuara.

"Make a wish dulu ya."

Mereka menutup mata masing-masing. Memanjatkan doa untuk orang-orang tercinta. Kemudian diikuti dengan memohon atas apa yang mereka inginkan.

Tanpa aba-aba, keduanya membuka mata bersamaan.

Saling memandang sambil terus memohon kepada-Nya.

'Ya Allah, lindungi Agam selalu.'

'Berikan kebahagiaan kepada Rahel, Agam mohon.'

Huuuh. Lilinnya mati. Rahel memeluk Agam lagi, kini pelukannya lebih erat dari sebelumnya. Sungguh, Rahel sangat menyayangi Agam. Ia yakin, Agampun tidak akan pernah meninggalkannya.

"Gak mau cobain kuenya?"

"Ambilin."

Rahel segera bangkit dan memotong kue untuk Agam. Lalu ia memberikannya pada Agam. Agam menerimanya dengan senang hati dan memakannya dengan lahap.

Rahel hanya memandangi. Lagi-lagi air matanya mengalir. Sesegera mungkin ia menghapusnya, namun terlambat. Agam sudah melihatnya. Raut wajah Agam kembali seperti awal ia tiba. "Rahel, lihat bintang yuk." Ajak Agam.

Rahel hanya mengangguk dan mengikuti Agam yang mulai berjalan. Mereka akan melihat bintang, di atap rumah Agam. Mereka naik lewat jendela kamar Agam. Lalu, mereka merebahkan tubuh masing-masing di atas genteng.

Dengan posisi yang sangat dekat.

"Lo habis ngapain sih, Gam?" Tanya Rahel seraya membelai wajah Agam yang dipenuhi luka lebam. Agam mengacuhkan pertanyaan Rahel, dan malah melontarkan pertanyaan lain. "Hel, lo tuh pengen punya suami yang kayak gimana sih?"

"Perlu banget dijawab?" Agam mengangguk. Rahel menarik napas panjang dan tersenyum tipis. "Intinya sih, yang kayak Bagaskara." Rahel menatap Agam.

Lalu kembali menghadap langit yang hanya dihuni beberapa bintang. "Yang ganteng, tinggi, pinter, yang genetiknya bagus deh pokoknya biar anak gue ikutan cakep. Yang paling penting sih, Gam, harus seiman, baik, dan cinta sama gue." Pikirannya sudah larut memikirkan Bagaskara.

Agam membenarkan perkataan Rahel, memang semua kriteria itu sudah ada pada Bagas. Iya, Bagas mencintai Rahel. Dan kini tidak ada celah baginya untuk masuk ke dunia Rahel. Ia bertanya untuk memastikan lagi. "Segitu sukanya lo sama Bagas?"

Rahel mengangguk sambil tetap tersenyum.

"Yaudah, yang penting lo harus konsisten, Hel. Lo harus jaga diri lo sendiri. Kalo nanti, lo udah punya pacar, gue pengen lo pentingin kebahagiaan lo, Hel. Kalo dia emang gak sesuai sama kriteria lo, lo harus janji sama gue, lo gak boleh maksain hubungan. Lo yang paling tau tentang perasaan lo, tentang kenyamanan lo. Dan lo harus janji sama gue, lo gak boleh terluka sedikitpun. Janji?"

Saking seriusnya perkataan Agam, Rahel sampai menengok ke arahnya. Ia merasa ucapan Agam kali ini sangat dalam. Ia bisa merasakan suara Agam yang bergetar.

Rahel tersenyum satu kali lagi, mengaitkan kelingking kanannya dengan kelingking milik Agam. "Sebenernya gue gak harus janji sih, Gam. Kan selama ada lo, gue bakal tetep baik-baik aja."

Agam menoleh, "Trus gimana kalo gue gak ada?"

"Ya lo harus ada." Suara Rahel meninggi, terdengar seperti menyentak. Matanya membulat. Tidak ada lagi senyuman di bibirnya. Kini matanya kembali berkaca-kaca. "Kan lo sendiri yang bilang lo gak akan pernah pergi ninggalin gue." Entah mengapa, malam ini dirinya sangat sensitif. Pertanyaan Agam sangat melukai hatinya. Sekuat tenaga ia menahan supaya tidak menangis.

Namun, Agam yang menangis lebih dulu.

"Kok lo yang nangis? Bego banget sih lo. Pokoknya lo gak boleh ninggalin gue, titik. Bisa mati gue gak ada lo." Rahel duduk dan mengalihkan perhatiannya dari Agam. Mengapa Agam berbeda malam ini? Baru kali ini Agam berandai tentang perpisahan di antara mereka. Padahal di setiap harinya, Agamlah orang yang paling optimis.

Agam ikut duduk dan mengikuti arah Rahel memandang. "Kalo gue gak ada, kan lo bisa ngandelin Bagas. Katanya lo sayang Bagas, cinta Bagas, mestinya kalo ada Bagas, lo tetap bisa hidup, kan?"

"Ya gak gitu." Rahel menangis. Sekalipun ia pacaran dengan Bagas, sungguh, selama ini Rahel tidak pernah menginginkan Agam pergi. "Lo sama Bagas itu dua hal yang berbeda."

"Dan lo harus milih satu, kalo lo gak mau kehilangan keduanya, Hel."

"Kok lo gitu? Lo bohong banget sih jadi orang." Tangisnya semakin menjadi. "Katanya lo bakal tetep sama gue. Kok jadi berubah kayak gini. Emang lo mau ke mana sih? Meninggal?"

"Hel." Sontak Agam langsung menarik gadisnya itu ke dalam rengkuhannya. Satu hal yang tidak pernah ia inginkan selama ini adalah menjauh dari Rahel. Tapi, ini adalah satu-satunya jalan supaya Rahel bisa mendapat apa yang ia inginkan.

Kini, Agampun menangis.

Ia sangat ingin mengatakan, 'Rahel jangan menangis, nanti tambah jelek.' Tetapi tidak bisa karena dirinya sendiri juga menangis. Tembok pertahanannya sudah runtuh, hancur berkeping-keping.

"Lo mau ke mana sih, Gam?" Tanya Rahel di sela-sela tangisnya.

Agam sempat terdiam sebentar, sampai akhirnya ia menemukan kalimat terbaik yang bisa ia ungkapkan. "Kemanapun lo pergi, gue akan tetep ikut lo, Hel. Dan lo harus percaya itu. Lo bakalan baik-baik aja, kok."


💚💚💚


always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang