12|Minggu menjamu

535 208 51
                                    

Hari minggu yang indah. Rahel baru saja selesai membersihkan diri. Badannya terasa jauh lebih segar, keringat yang ia peroleh dari kegiatan lari-larinya tadi pagi sudah tidak melekat lagi.

Ada baiknya juga sih Agam punya pacar. Jadi hari libur Rahel tidak perlu diganggu olehnya. Lagipula banyak yang harus Rahel persiapkan untuk merayakan ulang tahun Agam yang ke tujuh belas 5 minggu lagi. Rahel sangat antusias untuk merayakan ulang tahun Agam. Karena Rahel tau, sahabatnya itu selalu kesepian di saat seharusnya ia bahagia.

Lagipula, satu hari setelah kelahiran Agam, Rahela Denasta dilahirkan ke muka bumi ini. Benar, umur mereka berdua hanya selisih beberapa jam saja. Dan tidak jauh beda dari Agam, di hari ulang tahunnya, Rahel juga sering merasa kesepian.

Rahel menyepol rambutnya dan mulai mengeluarkan bahan-bahan yang tadi ia beli setelah jogging. Rahel mengeluarkan satu persatu bahan sesuai dengan resep yang ia baca di internet. Mulai dari tepung terigu, telur, mentega,  baking soda, vanili, cokelat bubuk, dan sebagainya.

Tak menunggu lama, ia segera menakar bahan-bahan yang ia butuhkan dan mencampurkannya menggunakan alat pengocok manual.  Sayangnya, dapur Rahel tidak selengkap dapur mewah Agam, jadi ia harus mengocok bahan secara manual karena ia tidak mempunyai mixer.

"Akhirnya." Semua bahan sudah berhasil tercampur. Dan kini saatnya Rahel memanggangnya di oven. Hal yang paling Rahel takutkan, karena sebagian besar masakannya harus berakhir gosong di alat jahanam itu.

Sembari menunggu, Rahel membuka kembali jurnal yang ia buat khusus untuk mengetahui sejauh mana masakannya layak untuk dihadiahkan kepada Agam.

Rahel tidak mencatat sedetail itu. Ia hanya mencatat opini Agam mengenai masakannya.

Percobaan pertama hingga ke enam, kuenya sangat mengenaskan, bahkan ia harus menangis dan Agam harus menghiburnya berjam-jam lamanya.

Percobaan ke tujuh, kuenya tetap gosong, tetapi tidak seburuk sebelumnya. Percobaan ke delapan dan ke sembilanpun hampir mirip-mirip.

Percobaan ke sepuluh, gosongnya semakin berkurang dan Agam memaksa untuk mencicipi. Tetapi tidak berujung baik, Agam harus tidak masuk sekolah selama satu hari karena diare. Saat itu Rahel mencampurkan baking soda dan mentega terlalu banyak. Tapi saat itu juga, Rahel sangat senang sebab kata Agam, kuenya lumayan bisa dimakan.

Percobaan ke sebelas dan dua belas, Agam memaksa mencoba lagi. Tetapi ia tidak diare. Cuma rasanya terlalu hambar dan mirip seperti bantal.

Hari ini percobaan ke tiga belas. Setidaknya rasanya sudah harus enak. Keberhasilan harus berhasil ia raih pada percobaan ke lima belas. Makhlum saja, untuk seseorang yang sangat bodoh dalam urusan dapur dan terlalu keras kepala untuk menerima bantuan dari orang lain seperti Rahel, membuat kue tart kecil bukanlah perkara yang mudah.

Ia harus benar-benar fokus dan meraba-raba supaya tidak mengulangi kesalahan.

Alarm oven sudah berbunyi. Buru-buru Rahel mengangkat kuenya dan mematikan oven. Iapun mengipasi kue itu supaya cepat dingin. Ia sudah tidak sabar mencoba.

"Assalamualaikum, Hel, Rahel." Suara Bagas!

"Waalaikumsalam, Gas. Ngapain lo ke sini?" Tanya Rahel dengan posisi yang masih sama, yaitu mengipasi kue. Hanya saja ia sedikit menengok supaya bisa melihat wajah tampan Bagas.

"Mau pinjem tabel anuitas. Lo punya kan? Punya gue hilang soalnya."

"Oh, ambil aja. Di meja belajar gue. Habis gue pake soalnya." Rahel tetap tidak mengubah posisi. Bagaspun sempat heran dengan apa yang dilakukan Rahel.

Rahel menyentuh kuenya. Ternyata sudah lumayan dingin. Iapun memotong sedikit dan mencicipinya. "Anjir, manisnya pas. Kenapa gak dari dulu aja sih gue pake resep yang ini." Ia senang sekali. Iapun memotong kue itu dan meletakkan potongan terbaik pada kotak makannya, nanti ia akan memberikannya kepada Agam.

"Mau satu dong." Bagas menyomot potongan kue itu begitu saja. Yang tentu membuat Rahel terpelongo. Pasalnya yang ia ambil adalah potongan terbaik untuk diberikan Rahel kepada Agam. "Kok lo ambil yang itu sih?!"

"Kenapa? Gak boleh?" Sesegera mungkin Rahel menutup kotak makan itu dan menaruhnya di dalam kulkas. "Tapi enak kok kuenya."

"Yaiyalah gue yang masak." Bangga sekali. Padahal ini adalah percobaan pertama yang berhasil. "Tapi kok lo taruh kulkas? Kan gue mau lagi."

"Itu buat Agam. Lo makan yang ini aja." Ucap Rahel sembari menyiapkan sepiring kue yang tentu saja tidak sebaik potongan yang tadi, juga sedikit gosong, karena memang itu remahan dari potongan yang sempurna.

"Cih, jahat banget sama gue."

"Lah lo juga jahat sama gue."

Rahel duduk dan meletakkan piring tadi di meja makan. Bagaspun mengikuti dan menyomot kue itu lagi. Bagas mengibaskan tangannya pelan supaya remahan kue itu menghilang dari jarinya. Lalu ia menggelar buku tulisnya di atas meja.

Rahel hanya diam memperhatikan Bagas yang terlihat fokus mencatat sesuatu. Bagas belajar? Aneh. Seingatnya, Bagaskara sangat jarang belajar. Bukan jarang lagi, bahkan nyaris tidak pernah.

"Ngapain lihat-lihat? Nak-"

"Naksir lo?" Potong Rahel. Ia sudah hafal dengan kalimat itu. Dan, jika boleh, Rahel ingin sekali berteriak jika ia sudah naksir Bagas sejak sangat lama. Hingga rasa ingin memiliki yang kurang ajar ini tumbuh sangat subur di hatinya. Tidak mau tau, pokoknya Bagas harus tanggung jawab. Memang berdialog dengan diri sendiri itu sangat menyenangkan.

Oke, back to reality.

"Tumben belajar. Di rumah orang lagi."

"Iseng aja sih, habis itu guru mat ada ada aja, katanya mau ngasih kuis tentang anuitas. Kan udah lupa gue." Bohong. Bagas berbohong. Sebenarnya tidak ada guru matematika yang bilang akan memberi kuis, apalagi materi anuitas? Bohong. Ngapain juga guru matematika mau repot membahas materi yang seharusnya sudah habis di kelas 11.

Memang ia tidak mau mengakui, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia ingin Rahel memandangnya sebagai orang yang pintar. Memang sebenarnya Rahel selalu memandang Bagas seperti itu. Tetapi entah kenapa, hatinya sedikit sakit saat mengetahui bahwa Rahel  belajar bersama Agam tempo hari. Padahal di sana ada Bagas yang jauh lebih pintar, kenapa Rahel tidak bertanya saja padanya saat sedang kesulitan? Kenapa jauh-jauh datang ke rumah Agam?

Tak sengaja ia menatap Rahel yang juga sedang menatapnya. Sepersekian detik, keduanya mengalihkan pandangan. Sebentar sekali, ah tidak, hanya sekilas, hanya selayang pandang. Tetapi sangat membekas bagi kedua belah pihak.

'Astaga, ngapain sih gue natap Rahel?! Eh, tapi tadi dia natap gue juga gak sih?'

'Mata Bagas teduh. Jika bisa, hentikan saja waktunya, Tuhan. Supaya saya bisa memandangi mata indah ciptaan-Mu itu sedikit lebih lama.'



💚💚💚


always youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang