18. Bulan di hidupku

80 19 4
                                    

Rio memandang jalanan dari balik kaca dengan kecemasan yang membuncah.

Mendung. Tidak ada notifikasi apa pun di ponselnya. Padahal pesan dari gadis bersurai lurus sangat ia tunggu-tunggu.

Di hadapannya, Helma tak berhenti mengoceh. Menceritakan hal apa saja yang menurut gadis itu menarik sembari sesekali meneguk vanilla lattenya.

Rio tidak mengerti dengan benar apa yang dikatakan gadis itu, karena rasanya hanya tubuhnya saja yang berada di sini. Sementara pikirannya berterbangan jauh di luar sana.

Diam-diam, ia mengetikkan pesan untuk Luna di bawah meja. Tangan kirinya berada di atas meja, sesekali ia menganggguk atau tersenyum kecil menanggapi ocehan Helma agar gadis itu tidak tahu jika ia tengah mengotak-atik ponselnya.

Lima menit pesan terkirim, tidak ada tanda-tanda pesannya akan terbalaskan. Batinnya terus aja bertanya-tanya tentang keberadaan dan keadaan gadis bersurai lurus itu.

Rio mengerjapkan matanya saat merasakan sesuatu menyentuh punggung tangannya yang bebas di atas meja. "Rio, kok Lo ngelamun, sih?"

Rio tersenyum, menjawab pelan penuh keyakinan. "Enggak kok."

"Gue kenal Lo," sahut Helma. "Apa yang Lo lamunin?"

Cowok itu mengedikkan bahunya membuat Helma memaksakan senyuman manisnya. "Oke kalo Lo nggak mau cerita, gue nggak akan maksa kok. Tapi Lo harus inget, sekarang gue udah di sini. Di samping Lo. Nggak perlu ngelamunin apa pun lagi yang bersangkutan dengan gue."

"Tapi gue butuh kata-kata Lo itu dulu, bukan sekarang," jawab cowok berikat kepala itu santai tapi tetap terdengar penuh penekanan di akhir kalimat. Ia tersenyum sinis sembari memandang jalanan yang masih saja ramai dalam lingkup awan hitam.

"Maksudnya? Kata-kata yang mana?"

"Di sini, di samping Lo," ulangnya.

Jawaban Rio berhasil membuat Helma mematung, bibirnya mengatup rapat, rasanya ia seperti dipukul dengan ribuan godam hanya karena kalimat sederhana tersebut.

Rio beranjak berdiri. "Mendung, gue pulang dulu. Jangan hubungi gue lagi kalo cuma buat ngomongin hal nggak penting kayak gini."

Kakinya sudah siap melangkah saat sebuah tangan mencekal pergelangannya. "Jadi sekarang gue udah nggak penting lagi buat, Lo?"

Rio kembali tersenyum sinis. "Harusnya Lo udah dapetin jawaban dari tatapan gue."

"Rio, itu nggak mungkin sesingkat ini, kan?" tanya Helma penuh harapan, cekalan di tangannya perlahan mengendur.

Sekarang bukan sebuah senyuman sinis, tapi sebuah tawa yang sama sekali tak enak didengar. "Manusia aja hidup di bumi sesingkat itu, kenapa perasaan seseorang nggak bisa mati sesingkat itu juga?"

Helma diam, tak berkutik.

"Gue pulang dulu. Cepet pulang kalo Lo nggak mau kehujanan."

Gadis dengan senyum manis itu memandang punggung Rio dengan tatapan terluka. Meskipun hatinya terasa hancur, tapi senyum manisnya berhasil tercetak dengan jelas di bibirnya. Rio tetaplah Rio yang ia kenal, Rio yang selalu peduli terhadapnya.

***

Luna menggerjapkan matanya perlahan, tidur saat hujan turun dengan selimut tebal memang terasa sangat menyenangkan. Sekarang suara hujan sudah tidak terdengar lagi di telinganya, menandakan reda yang sebenarnya tak ia harapkan karena masih ingin menambah jam tidur menyenangkannya.

Luna hampir saja berteriak saat matanya sudah terbuka dengan sempurna. Senyumannya memang sangat memabukkan, tapi kalo muncul tiba-tiba begini tetap saja tidak lebih dari hantu yang suka nongkrong di atas pohon.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now