30. Malam penuh kegelapan

68 10 0
                                    

"Luna."

Hal tiba-tiba kembali terjadi saat seseorang muncul dari dalam rumah Luna dengan wajah datar. Membuat keduanya gelagapan dengan jantung berdetak kencang.

"Masuk!" titah Darma dengan tegas, tidak membiarkan anak gadisnya membantah.

Gadis bersurai lurus itu menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya. Ia menghembuskan nafasnya secara kasar sebelum melangkahkan kakinya.

Ternyata apa yang Luna anggap mungkin telah tertimpa kemustahilan.

Luna pikir, jika Darma sudah pulang, pasti gerbang rumahnya terbuka lebar dan beliau sudah menunggunya di teras rumah. Tapi ternyata tidak, yang mendadak membuatnya membenci kata 'tidak' karena hal itu berbanding terbalik dengan apa yang ia inginkan.

Sebelum Luna benar-benar menjauh darinya, Rio mengelus sebelah lengan Luna. Layaknya memberikan apa yang gadis itu perlukan sekarang. Bukan kekangan nan menegangkan, melainkan kebebasan yang dibelai ketenangan.

Tidak berlangsung lama karena Luna lebih memilih untuk segera masuk ke dalam rumah. Bukan karena ia menolak sentuhan penuh kelembutan itu, melainkan karena Luna tidak mau menambah masalah yang melibatkan Rio masuk ke dalamnya.

Cukup Darma yang mengekangnya, jangan sampai beliau menyalahkan Rio atas apa yang ia lakukan, atas apa yang ia usahakan untuk menikmati sejenak yang namanya kebebasan.

"Om, maaf —" Ucapan Rio sepeninggalan Luna dipotong Darma begitu saja.

"Kamu pikir..." Darma menatap Rio dengan tajam. "Kata maafmu bisa mengembalikan waktu Luna yang terbuang-buang begitu saja untuk keluyuran di luar sana?"

"Luna nggak keluyuran, Om —,"

"Munurutmu mungkin bukan keluyuran karena kamu sudah terbiasa dengan pergaulan di luar sana yang terlihat mengerikan."

"Seenggaknya kata maaf lebih berharga daripada pembelaan tanpa alasan," ucap Rio spontan tanpa rasa takut.

"Apa maksud kamu?!" tanya Darma dengan nada suara naik satu oktaf. Leo —yang notabenenya anaknya sendiri —tidak pernah membantah ucapannya. Sedangkan bocah ingusan yang baru lahir tadi sore dan tidak mengerti apa-apa berani membantah ucapan orang tua begitu saja?

Darma jadi membayangkan, dengan orang lain saja berani berucap tidak sopan, apa lagi dengan orang tuanya sendiri.

"Om selalu merasa benar. Luna itu juga sama kayak orang di luar sana, dia manusia sosial yang otomatis butuh bersosialisasi," papar cowok tanpa ikat kepala itu.

"Keluar rumah bukan berarti keluyuran, Om, Luna perlu sesuatu yang baru. Yang menantang dan nggak menuntut, yang nggak pernah dia dapat sebelumnya karena Luna hanya Om wajibkan bersosialisasi di sekolah padahal Luna nggak kayak anak-anak lainnya yang punya banyak tem —,"

"Kamu siapa, hah?! Tahu apa tentang Luna?" tanya Darma memotong ucapan Rio untuk ketiga kalinya dengan sarkas.

Rio tersenyum sinis. "Harusnya nggak pernah dijelaskan sekali pun Om udah tahu siapa saya. See." Cowok tanpa ikat kepala itu menunjuk motornya. "Apa Luna pernah mau naik motor? Nggak, kan? Tapi buktinya Luna mau naik motor sama saya. Luna berani ambil resiko keluar rumah setelah selama ini cuma bisa diam aja. Apa Om nggak sadar kalau akhir-akhir ini Luna kelihatan lebih ceria? Itu semua karena siapa?"

Darma mendadak membisu.

"Semua itu karena saya, Om!"

Ngegas dikit nggak pa-pa, biar ada asepnya dikit, biar kelihatan keren.

Sombong dikit nggak pa-pa, karena sekarang emang perlu.

Terlalu percaya diri nggak pa-pa, karena emang itu penting.

 BLUE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang