12. Sang pelepas rindu

85 18 0
                                    

Sayangnya selantang apa pun ucapnya, Rio tentu saja tak akan bisa mendengar. Karena hanya suara hatinya saja yang punya keberanian untuk saat ini. Tapi itu saja sudah cukup baik, kan? Ya, cukup baik karena ia sudah berani mengakui perasaannya sendiri.

Setelah beberapa menit kemudian, Rio melepaskan pelukannya. Membuat ruang hampa dalam diri Luna kembali tercipta. Cowok itu lantas menangkup wajah Luna dengan kedua tangannya yang sedikit berotot, sedangkan lengan Luna masih melingkari pinggangnya tanpa sadar. "Masih pusing?"

Luna menatap bola mata hitam pekat itu tanpa ingin berpaling. Entah sejak kapan ia menyukai tatapan itu, rasanya terasa lembut dan meneduhkan.

"Na?"

Ia lantas mengerjapkan matanya berkali-kali, meski sebenarnya enggan. Lalu menggelengkan kepalanya cepat-cepat, takut jika saja Rio merasa curiga.

Tangan besar nan lembut itu beralih mengusap sudut bibirnya, membuatnya tanpa sadar meringis pelan. "Ini kenapa?!" tanya Rio kemudian dengan pekikan tak santai.

Luna sangat ingat siapa pelaku di balik robeknya sudut bibir ini. Sebenarnya saat tertawa tadi ia juga merasa sangat perih, tapi mau bagaimana lagi. Menghentikan tawa begitu saja bukanlah hal yang mudah. Untung saja lukanya tidak begitu basah, jadi darahnya tidak akan kembali mengalir dengan mudah.

"Ini... tadinya cuma sariawan. Tapi tau-tau udah begini," ucapnya disusul dengan helaan nafas lega saat menemukan jawaban yang sekiranya tidak begitu mengkhawatirkan. Tidak khawatir terbongkar maksudnya.

Rio hanya menganggukkan kepalanya singkat dengan wajah datar. Tentu saja ia tahu jika Luna berbohong. Tapi ia juga tak mau memaksa Luna menceritakan semuanya, ia ingin mendengar yang sebenarnya atas kemauan Luna sendiri. Tapi ternyata Luna tidak mau berucap jujur, jadi ya sudah.

"Lo mau kemana malem-malem begini, Na?"

Ah, Luna bahkan hampir lupa dengan tujuan awalnya. "Cari makan," jawabnya kemudian. "Lo ngapain?"

"Mini market," jawab Rio terlampau singkat. "Mau cari makan apa?"

"Pinginnya sih bakso."

"Ini udah malem, mending Lo beli makanan instan aja yang bisa dimasak di rumah."

Luna menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. "Kenapa gitu?"

"Udah malem, Lo cewek. Apa nggak mungkin di luar sana ada orang jahat?"

"Udah, nggak usah muter-muter deh, Lo! Maksudnya biar bisa pulang bareng, kan?" Kelihatannya Luna memang merasa biasa-biasa saja, tapi di dalam sana, rasa senangnya entah sudah masuk dalam angka berapa. "Emang Lo nggak bisa nungguin gue makan bakso bentar aja?"

"Bukannya nggak bisa." Rio baru menurunkan kedua tangannya, lantas beralih menurunkan kedua tangan Luna yang masih bertenger di pinggangnya. Menggenggam sebelahnya dengan begitu erat. "Gue mau beli susu, si Tuyul nggak bisa tidur kalo belum nyusu. Kebetulan susu di rumah habis, katanya sih Bunda lupa beli. Kalo gue nungguin Lo, kasihan si Tuyulnya di rumah."

Setelah memberikan penjelasan, Rio menyebrang jalan dengan Luna di sampingnya. Masih dengan tangan yang saling bertautan, dan tampaknya Luna juga menurut saja. Cowok berikat kepala biru terang itu membawa Luna menuju mini market seberang jalan.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now