22. Berdamai dengan sang tokoh utama

78 16 0
                                    


Dengan sangat mudah, Luna dibuat heran dengan kelakuan cowok berikat kepala biru terang yang memandangnya dengan senyuman lebar.

Jarak rumahnya dengan rumah Rio sangat dekat, tapi cowok itu tetap memaksa mengantarkannya pulang sampai tujuan.

Katanya agar Luna tidak perlu merasa takut dengan kejaran Bu Ndar. Padahal rumah Bu Ndar tidak bersebelahan dengan rumahnya, menambah kemungkinan jika Luna tidak akan bertemu wanita paruh baya itu di jalanan komplek depan rumahnya.

"Udah sana, pulang," usir gadis bersurai lurus itu tanpa ragu saat mereka sudah berdiri saling berhadapan tepat di depan gerbang rumah Luna.

"Bentar."

"Bu Ndar nggak bakal ke sini, tenang aja. Sana," ulangnya sekali lagi.

"Sekarang alasannya bukan itu lagi," jawab Rio tenang, suaranya masih selalu menyiratkan kelembutan. Menatap gadis di hadapannya dengan senyuman yang tak pudar.

"Apa lagi sekarang?"

"Mungkin karena ini." Sebelah lengan Rio terangkat, mengelus sisi bibir Luna dengan penuh kelembutan. "Yang kalo melengkung kelewatan manisnya."

Seperti gadis konyol di luar sana, Luna hampir saja kehilangan jati dirinya hanya karena ucapan cowok ini. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya. Menahan senyuman memalukan agar tidak hadir untuk saat ini.

Tangan Rio yang masih menyentuh sisi bibirnya bergerak pelan. Menarik permukaan kulitnya agar gigitan di bibir gadis itu terlepas. "Lengkungan ini bahkan lebih menarik daripada lengkungan pelangi," lanjut cowok itu.

Hanya satu yang bersarang dalam pikiran Luna yang sedang berkelana. Apakah dulu, Rio juga memperlakukan Helma semacam ini?

"Tapi kalo senyumnya sambil ngelamun, jadinya hambar. Sayang banget, kan?"

Luna buru-buru menghentikan pikirannya yang asyik berkelana itu. Memfokuskan tatapannya pada Rio yang masih berdiri di hadapannya. Ia sudah salah jalan. Rio terlihat semenarik itu, lantas kenapa pikirannya masih saja berjalan-jalan tanpa jawaban yang penuh kepastian?

"Mikirin apa, Na?" tanya Rio lembut, tanpa terkesan menuntut jawaban yang seharusnya. Tangan kekarnya berpindah mengusap sisi wajahnya dengan seirama.

"Enggak, kok. Cuma lagi bingung aja."

Rio menaikkan sebelah alisnya. "Tapi kalo lagi sama aku kamu nggak boleh bingung."

"Bolehnya?"

"Seneng."

Saat Rio mengembangkan senyumannya, Luna terkekeh pelan. "Nah, kayak gini contohnya," sambar cowok itu menatap bibir Luna penuh bangga.

Saat kekehannya sudah terhenti, Luna menatap Rio dengan wajah serius. "Tapi aku beneran lagi bingung."

Alis cowok itu bertaut, memandang Luna penuh tanya. "Bingung kenapa?"

"Justin mau dikemanain." Jawaban gadis bersurai lurus itu terdengar begitu lirih. Seakan putus asa dengan raut wajahnya yang terlihat mengelap.

"Mungkin dibuang lebih baik," usul Rio dengan wajah santai, menurunkan tangannya dari lingkup wajah Luna.

Mendengar jawaban Rio yang terdengar menyebalkan di telinganya, Luna membulatkan mata tak terima. Jika memang Justin adalah sampah yang merugikan, mungkin ia juga sudah membuangnya dari dulu.

Tapi di mata Luna, Justin adalah harta karun yang harus disimpan rapat-rapat dalam hatinya. Tapi naas, tempat penyimpanannya yang aman sudah diterobos masuk oleh seseorang dengan ikat kepala biru terang. Membuat posisi Justin sang pujaan yang selalu didamba, turun jabatan begitu saja. "Enak aja!"

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now