11. Pengakuan temaram

88 20 2
                                    

Jika berada di dekatmu saja sudah membuatku bahagia, untuk apa pengakuan itu ada?

Tapi ini tak adil. Pengakuan itu sudah terlanjur terucap, di bawah sinar rembulan dan bumi yang menggelap.

***

Langit tidak terasa kosong kali ini, atau mungkin sebenarnya memang tidak pernah kosong. Walaupun tidak ada taburan bintang atau mungkin bulan yang siap mengisi gelapnya malam.

Masih ada semburat orange yang memancar di ujung barat garis cakrawala, meskipun cahayanya tidak terasa sempurna karena terhalang gedung-gedung yang menjulang, seolah menggambarkan perilaku manusia yang selalu saja bersikap egois.

Leo tidak tahu siapa yang sebenarnya bersalah. Entah Luna yang berucap tidak sopan dengan orang tua, apa lagi membawa namanya begitu saja. Ia benar-benar tidak tahu dari mana kesimpulan yang adiknya dapatkan, dan juga tidak bisa membayangkan jika ia memanglah... anak yang sebelumnya tidak di inginkan?

Anak haram?

Tidak, tidak. Itu bahkan terlalu mengerikan untuk sekedar dibayangkan.

Jadi, sebenarnya siapa yang salah? Leo jadi bingung sendiri. Luna? Atau Papanya yang sudah memberikan tamparan tanpa pikiran?

Karena menurutnya kali ini bukahnlah masalah kecil seperti biasa, jadi taman belakang rumah dan kamar Luna bukanlah pelarian yang tepat. Ia memutuskan untuk mencari tempat yang sedikit lebih jauh, yang bisa memberikan ketenangan.

Dan di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman tepi danau. Duduk di salah satu kursi yang dekat dengan orang berlalu lalang. Ia sudah membersihkan darah yang mengalir dari sudut bibir Luna. Sebelum keluar rumah, ia juga sudah sempat melepaskan ransel Luna dan menaruhnya di teras depan.

Leo pikir Luna akan menangis seperti biasa. Tapi ternyata tidak, Luna bahkan tak meringis sama sekali saat Leo tak sengaja menekan sudut bibirnya sedikit kencang. Luna hanya diam dengan tatapan kosongnya. Diam seribu bahasa. Gadis bersurai lurus itu hanya menangis saat mengungkapkan apa yang ia rasakan tadi di depan Darma, setelah itu air matanya mengering begitu saja.

Leo tidak tahu apa yang harus ia lakukan, selain mendekap adiknya dengan mengelus kepalanya. Atau sesekali mengecup puncak kepalanya.

Luna bahkan tak membalas pelukannya dengan erat seperti biasa. Ia merasa seperti tengah mendekap mannequin.

Tindakan Leo ternyata berhasil menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang di depan mereka. Memandangnya dengan cara tak biasa.

Mungkin saja mereka berpikiran jika tampang boleh saja oke, tapi membawa anak gadis orang bukanlah cara yang baik. Mungkin juga beberapa di antaranya kembali yakin karena Luna masih mengenakan seragam sekolah. Berbeda dengan Leo yang tubuh indahnya sudah dibalut dengan T-shirt abu polos dan celana jeans di atas lutut, benar-benar pakaian rumahan.

Jika saja Leo tidak punya rasa malu, mungkin ia sudah berteriak tepat di depan wajah mereka satu per satu. Menegaskan bila gadis yang kini berada di pelukannya adalah adiknya, bukan seperti yang mereka pikirkan.

Tak hanya itu, ia bahkan mendapatkan tatapan memuju dari para gadis yang lewat di hadapannya. Membuatnya mendengus, menjadi orang tampan memang tak sepenuhnya menyenangkan.

"Mau pulang kapan?" tanya Leo sembari terus mengelus kepala adiknya saat menyadari hari kian semakin mengelap, pengunjung taman juga tak seramai tadi. Suaranya terdengar lembut dan penuh perhatian.

Leo lantas menghela nafas lega saat Luna membalas pelukannya, seperti biasa. "Nggak mau pulang," jawab gadis itu yang kemudian menenggelamkan wajahnya di dada bidang Leo.

 BLUE [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz