27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya

55 10 0
                                    

Setelah mengantarkan Luna pulang, Rio berjalan memasuki rumah dengan senyum mengembang. Perasaan lega dan senang bercampur membentuk senyuman yang memabukkan.

Ternyata begini rasanya setelah berbagi cerita, cukup menarik menurutnya.

Ternyata begini rasanya dirundung jatuh cinta, cukup membuatnya bahagia menurutnya.

Ini memang bukan kali pertama ia jatuh hati dengan seorang perempuan. Tapi rasanya, ini lebih menyenangkan dari perasaan-perasaan yang sebelumnya. Kali ini terasa lebih memukau berkali lipat.

Dengan senyum yang enggan menyingkir dari bibirnya, Rio mendudukkan diri dengan santai di ruang tengah. Ikut berkumpul dengan keluarganya.

"Dari mana?" tanya Geralnd heran, memandang ke arahnya dengan kerutan di dahi yang terlihat jelas. Beliau bahkan rela menghentikan aksi meladeni ocehan Reon hanya untuk bertanya pada anak sulungnya.

"Dari depan," sahut cowok berikat kepala itu, masih dengan senyumannya yang tak kunjung meredup.

"Ayah, emang Abang gila?"

Rio memelototkan matanya ke arah Reon yang berada di pangkuan Geralnd. Bocah itu pura-pura berbisik dengan sebelah tangan mungil yang menutup mulutnya. Tapi tetap saja, suara cemprengnya sangat jelas terdengar di telinga Rio.

"Lo tuh ya gila! Tiap hari ngomong sendiri." Rio mencibir. Mengingat dengan jelas bagaimana Reon berteriak tidak jelas atau mengajak bicara mainannya.

"Dulu kamu emang nggak gitu juga?" Pertanyaan Darma berhasil menohok Rio. "Kayak nggak pernah bocah aja kamu."

"Ayah." Reon kembali memanggil Geralnd dengan berbisik, kali ini tidak dengan menutup mulutnya dengan isyarat bisikan. "Abang gilanya dari dulu, ya?"

Rio hampir saja mengambil pisau di dapur dan menjadi psyco dadakan jika ia hanya berdua dengan Reon saat ini. Cowok berikat kepala biru terang itu menahan diri untuk tidak memberikan Reon sebuah jitakan penuh kasih sayang.

"Kok Eon baru tahu," lanjut bocah itu dengan tatapan keheranan.

Tangan Gerand terangkat bersamaan dengan Reon yang menguap. Mengelus rambut bocah itu yang terlihat sedikit pirang. "Reon masih makanin coklat ya?" tanya beliau saat mulut Reon sudah kembali tertutup. Melihat dengan jelas gigi Reon yang sudah tidak utuh. "Itu gigi kamu udah ompong, jangan makan coklat sama permen."

"Eon nggak makan coklat sama permen, Ayah," sahutnya membela diri. "Eon, kan, anak nurut dan ganteng."

Rio mencibir pelan. Ganteng katanya? Sungguh besar rasa percaya diri bocah itu.

"Terus makan apa kamu?" tanya Geland lembut sembari mengulaskan senyuman.

"Eon makan gulali yang ada di depan sekolah, Ayah. Enak banget tau, besok Eon mau beli lagi."

"Sama aja, anjir!" Rio yang sudah tidak tahan memilih angkat bicara. "Itu juga makanan manis!"

Reon memasang wajah menjengkelkan, yang rasanya membuat jiwa-jiwa menganiaya adiknya sendiri memuncak. "Ah, Abang bohong."

"Reon, apa yang Abang omongin itu bener." Geralnd menasehati. "Besok lagi jangan makan yang manis-manis, jangan beli gulali, oke?"

Bocah itu mengangguk dengan patuh. Begitulah Reon, selalu saja membuat Rio merasa jengkel. Saat cowok berikat kepala biru terang itu yang angkat bicara, anak itu tidak mau mendengarkannya sama sekali. Giliran Ayahnya yang buka suara, langsung saja nurut dan tidak membantah.

"Ayo, tidur." Hana beranjak mendekat saat anak bungsunya kembali menguap. Reon merentangkan kedua tangannya meminta gendong.

Ibu dan anak itu lantas menghilang di balik pintu, meninggalkan Geralnd dan Rio yang masih duduk bersebelahan di sofa ruang tengah. "Ayah tadi lihat kamu sama Luna di atas pagar."

 BLUE [Completed]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن