35. Jatuh

59 8 0
                                    

"Pagi pacarnya Rio," sapa Helm sok akrab. Cewek itu mengucap penuh penekanan pada kalimat 'pacarnya'.

Seperti dugaan Luna, Helm pasti akan mengusik hidupnya. Macam dedemit yang lagi pensiun dan mendadak gabut.

"Apa perlu apa, ya?" Luna bertanya. Tenang saja, masih tidak ada nada ngegas di kalimatnya.

"Nggak ada perlu apa-apa, sih. Cuma mau lihat aja seberapa cantik pacarnya Rio sampai-sampai Lo rela jadi pelakor." Helma tersenyum sinis, seolah meremehkan jika Luna tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya.

"Pelakor?"

"Ya. Kalo ada sebutan yang lebih menjijikan dari itu, Lo pantas dapet sebutan itu."

"Wow."

Wajah boleh saja iyes, tapi percuma jika akhlaknya iyuh.

"Lo itu cuma orang baru, yang kalo nggak dibutuhin bakal dibuang juga." Helma memandang Luna dengan tatapan menyebalkan. "Dan kayaknya, Lo memang pantas dibuang. Karena Lo itu sampah yang menganggu hubungan gue sama Rio."

Sepertinya, Luna perlu melempar Helm di rumah kaca yang ada di Dufan. Agar cewek itu bisa ngaca sepuasnya.

Tahan Luna, tahan. Ini masih pagi.

"Atau mungkin, Lo itu cuma dijadiin pelampiasan supaya Rio bisa lupain gue. Bisa aja dia masih sayang sama gue, tapi karena gengsi dia sok-sokan nggak peduli sama gue."

Rasanya, Snow White yang tertidur lama pun tidak pernah bermimpi macam cewek di hadapannya ini.

"Lo nggak pernah tahu sejauh mana apa yang gue lakuin sama Rio."

Sejauh mimpi memandang kali, Mbak.

"Kita lihat aja...."

Kita? Lu aja anjir.

"Kita lihat sampai Rio sadar."

Dikira cowok berikat kepala itu sedang koma apa pake sadar segala.

"Apa yang Rio lakuin itu kesalahan. Dan gue itu kebenaran, Rio pasti akan kembali pada kebenaran."

Akang kendang, kalau Anda hanyalah masa lalu, sebaiknya mundur ya. Biar tidak kelindes!

Luna rasanya ingin berteriak, tapi ia harus sabar. Cukup ngedumel dalam hati saja, selebihnya biar Tuhan yang bertindak. Seperti ucapan Leo.

"Cepat atau lambat, Rio bakal ninggalin Lo karena dia hanya milik gue!"

Mamam tuh kehaluan lu!

"Selama menanti hari kehancuran Lo dan hari bahagia gue sama Rio." Helma tersenyum miring, lantas bergegas masuk ke dalam mobilnya. Menghilang dari pandangan Luna.

"Stres!" umpat Luna sembari melangkahkan kakinya.

Untung ia bisa menahan emosinya, jika tidak, kemungkinan besar akan ada peperangan duniawi nan unfaedah.

Kembali sebagai Luna yang dulu, apa yang Helm ucapkan tadi hanya masuk di kuping kanan lalu keluar dari kuping kiri. Jika ia meladeni orang gila, yang ada dia juga ikutan gila.

Katanya kunci sebuah hubungan adalah kepercayaan dan kesetiaan. Oleh sebab itu Luna lebih mempercayai Rio ketimbang cewek itu.

Menyebalkan!

Mengapa pula dulu Rio mau punya cewek macam Helm yang demen labrak-labrakan macam mak-mak terhianati. Kampungan sekali.

Mungkin sekarang ia hanya akan diam, tapi jika Helm kembali melancarkan aksinya, Luna akan bertindak saat itu juga. Enak saja Helm meragukan kemampuannya, kena lempar jambu Bu Ndar baru tahu rasa tuh dedemit edan.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now