10. Dekap lara

104 22 2
                                    

Satu hal yang Rio sadari saat pelajaran sedang berlangsung setelah insiden yang tak terduga-duga terjadi tanpa bisa dihindari, bahwa gadis yang duduk di sampingnya bukanlah Luna si cewek petakilan yang memiliki kemampuan memanjat pohon di usianya yang sudah tidak memasuki kategori anak-anak.

Luna tidak berbicara apa pun dan tidak melakukan apa pun. Matanya fokus ke depan seolah sedang sangat fokus pada pelajaran yang tengah berlangsung. Tapi Rio yakin jika Luna tidak benar-benar memperhatikan pelajaran.

Biasanya, jika ia mendapatkan mimpi buruk di malam hari menjelang pagi, ketakutan yang menyapa hanya sesaat. Lalu perlahan larut oleh waktu dan rasa kantuk yang kembali menyerang. Tapi ternyata apa pun itu yang dialami Luna sama sekali tidak seperti yang ia alami.

Ia lantas menyodorkan buku tulis halaman terakhir disertai sikutan pelan yang berhasil membuat Luna melirik tulisan tersebut yang ternyata berisi;

Hari ini pulang bareng, kan?

Bukan gelenggan kepala yang Rio harapkan, tapi justru itu yang ia dapatkan.

Rio kembali menarik bukunya, ia lantas kembali menuliskan rangkaian kalimat di bawahnya.

Milk shake coklat sekaligus tumpangan tanpa gonggongan anjing kali ini, oke?

Sayangya jawaban yang ia dapat masih sama dari yang sebelumnya. Rio kembali melakukan hal yang sama, menuliskan sesuatu lagi di sana.

Ralat, kalimat pertama bukan tawaran atau pertanyaan, tapi pernyataan. Dan nggak ada yang namanya pernyataan disertai bantahan.

***

Luna sama sekali tidak membuka mulutnya. Ia hanya mengangguk atau menggeleng saat Rio mengajaknya bicara, itu pun hal yang dirasa penting. Karena sepertinya Rio bukanlah orang yang senang berbasa-basi, atau mungkin hanya untuk kali ini.

Ia terus menyeruput milk shake coklat di tangannya, dengan sebelah tangan yang lain membawa tiga permen lolipop yang juga dibelikan Rio untuknya —entah dengan tujuan apa. Tapi yang jelas, dalam hati ia cukup merasa senang. Hitung-hitung bisa untuk persediaan dalam ranselnya.

Rio tidak menanyakan hal apa pun yang berkaitan dengan penyebab dirinya menangis tersedu-sedu. Aih, bila diingat-ingat ia jadi malu. Pertama, pasti ia akan dianggap sebagi cewek lemah, entah siapa pun itu yang menganggapnya. Dan yang kedua karena main templok-templok saja pada cowok yang kini berjalan di sampingnya.

Tapi ngomong-ngomong, jika boleh, ia ingin sekali lagi merasakan kenyamanan yang ia dapat saat memeluk Rio. Dimana ia merasa seperti mendapatkan ketenangan dari orang lain, yang belum lama ini telah mengisi hari-harinya.

Tanpa pengecualian, jika mulutnya mampu berbicara. Mengucapkan rangkaian kalimat yang menjelaskan bila Luna sangat ingin mendekap cowok berikat kepala itu.

Luna sangat ingat goresan tinta Rio tadi yang isinya ia akan mendapatkan tumpangan gratis seperti hari lalu, tapi menurut Luna ini bukan tumpangan sama sekali namanya. Karena mereka kini tengah berjalan bersisihan dengan sepeda cowok itu yang menjadi pembatas keduanya.

Rio tidak menaiki sepedanya, ia juga tidak membeli sesuatu entah apa itu seperti yang tengah Luna minum kali ini. Hal itu tentu saja membuat Luna merasa bersalah, mungkin saja, kan, uang Rio hanya cukup untuk membeli apa yang ada di tangannya sekarang. Ya meskipun Rio sama sekali tidak terlihat seperti orang kurang duit.

Sebenarnya, ia ingin mengucapkan kata 'terimakasih' untuk traktirannya, dan 'maaf' karena sudah merepotkan. Tapi sayang kedua kalimat itu hanya bersarang dalam benaknya tanpa mau bersuara.

"Dulu..." Suara Rio berhasil membuat tatapan Luna mengarah ke samping. Menatap Rio yang sepertinya mempunyai pesona yang tak kunjung habis, bahkan dilihat dari sisi manapun tidak akan ada kata bosan. "Gue suka seni. Sebenernya bukan cuma dulu sih, tapi sekarang juga masih. Walau nggak seexited dulu sebenernya. Waktu masih SD gue suka gambar, tapi berhenti gitu aja cuma karena ada temen gue yang bilang, kalau suatu saat nanti wujud yang gue gambar harus dikasih nyawa."

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now