6. Bungkam

150 46 2
                                    

Bukan hanya semesta yang terkadang membuat bingung manusia. Tapi manusia antar manusia pun juga begitu. Semesta sebenarnya tak menuntut hidup dengan kebingunan melanda, tapi manusia yang kadang sering memikirkan sesuatu yang tak perlu dipikirkan. Giliran hal yang seharusnya dipikirkan, malah diabaikan begitu saja.

Rio tengah mendorong sepedanya dengan pikiran menerawang. Masih memikirkan ucapan Leo yang membuatnya bingung sekaligus penasaran. Bukan apa-apa, hanya saja ia takut jika yang dimaksud Leo itu mengarah pada hal-hal yang negative.

Ia lantas menstandarkan sepedanya dan berjalan menuju pintu utama saat semburat orange tengah menunjukkan wujudnya di ujung barat. Kebetulah langit sangat cerah saat ini.

Setelah menutup pintu dengan sempurna, ia dikejutkan dengan sesuatu yang menghantam kakinya. Rio menundukkan kepalanya dengan kening berkerut. "Sakit, bego!" umpatnya kemudian.

Reon tampak tak mempedulikan umpatan Kakaknya. Bocah itu lantas membelokkan mobil mini yang kini tengah ia tumpangi, setelahnya mendorong dengan kaki sembari meracau tidak jelas. "Brum... brum. Ayo, kita kalahkan dia!"

Rio menggelengkan kepalanya melihat tingkah adiknya. Lalu melangkahkan kakinya menuju anak tangga saat suara Hana terdengar. "Rio baru pulang?"

Rio menghentikan langkahnya, membalikkan badan dan berjalan santai menghampiri Hana yang tengah membawa sepiring brownis coklat.

"Iya, Bun," sahutnya sembari menyalimi tangan sang Ibu.

"Gimana tadi di sekolah baru?" tanya Hana yang kemudian berjalan menuju sofa dan mendudukkan diri di sana, membuat Rio mengikuti langkah beliau dan duduk di sebelahnya. "Kamu nggak dibully, kan?" lanjutnya lagi saat sepotong brownis coklat sudah masuk ke dalam mulutnya.

"Ya nggaklah, Bun." Rio menjawab dengan cepat. "Kata Bunda itu sekolahan bagus, mana ada bully-bullyan." Ia lantas mencomot brownis coklate yang bertenger manis dalam piring kecil yang ada di tangan Hana.

"Rio, bully itu nggak pernah mandang sebagus dan sefavorite apa sekolahnya," jelas Hana, menatap Rio dengan sangat serius.

Rio menaikkan sebelah alisnya. "Emang Rio kelihatan seculun itu sempai-sampai harus jadi koban bullying?" tanya Rio dengan mulut penuh saat brownis yang ia kunyah mendadak terasa hambar. Bukan karena Hana yang tak bisa membuat kue, tapi karena ucapan beliau yang kadang tidak perlu keluar dari mulutnya.

"Iya, karena kamu naik sepeda ke sekolah."

Rio berdecak. "Cuma karena itu? Bun, Rio nggak selemah itu untuk di bully kalo Bunda lupa." Ia lantas mengalihkan tatapannya.

"Tapi kamu bisa naik motor ke sekolah, atau mungkin naik mobil Ayah yang nganggur."

"Dan itu sama aja Bunda ngelarang Rio untuk menerapkan pola hidup sehat. Selagi itu mengguntungkan, kenapa enggak?"

Inilah alasannya mengapa ia lebih dekat dengan Ayahnya yang bahkan jarang di rumah. Karena Rio dan Hana memiliki pemikiran yang tak searah. Percuma saja ia buang-buang tenaga untuk mengeluarkan segala unek-uneknya.

Jadi, sebelum pertengkaran terjadi, ia memutuskan untuk beranjak ke kamar saja. "Rio capek, mau tidur."

Ia lantas berjalan ke arah tangga, dan sialnya si tenggil malah sedang asyik bermain di bawah tangga. Masih dengan mulut yang tak henti menggucapkan sesuatu, kadang Rio sering mempertanyakan tingkat kewarasan adiknya itu.

"Brumm brumm. Tin..."

Rio menghentikan langkahnya, menatap Reon yang dari tadi asyik bermain sendirian. "Bram brum mulu. Hujannya sampe deres banget itu."

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now