21. Sebuah permintaan

85 18 0
                                    

Aku pernah meminta pada pagi, untuk tidak hadir kembali. Karena mungkin saja, pagi menjelang, kamu menghilang.

***

Gadis bersurai lurus itu kemudian menggeleng, menolak secara terang-terangan. Bertepatan dengan suara derap langkah kaki seseorang yang terdengar memasuki rumah.

Dua pasang mata itu menoleh secara bersamaan, terkejut dengan kehadiran seseorang yang terkesan tiba-tiba. Luna sudah mengangkat kepalanya, sementara Rio sudah melunturkan senyumannya.

"Eum... maaf. Tadi gerbang depan kebuka, terus pintunya juga nggak dikunci." Suara itu berhasil menembus angin yang bebas di ruangan ini. "Karena sepi gue kira nggak ada orang, jadi gue langsung masuk aja buat mastiin."

Rio memasang wajah datar, menaikkan sebelah alisnya penuh tanya. "Ngapain Lo ke sini?" tanya cowok berikat kepala itu tanpa perlu basa-basi.

"Ngapain lagi kalo bukan jengukin, Lo." Dengan santai, Helma mendudukkan tubuh mungilnya di sofa single sebelah Rio.

"Gue nggak sakit, jadi nggak perlu ditenggokin segala," sahut Rio cepat, yang berhasil membuat Luna tersenyum puas dalam hati. "Lagian Lo tahu rumah gue dari mana, sih?"

Helma tersenyum, terlampau manis bahkan menurut Luna, cewek itu menatap Luna sesaat. Sebelum beralih memandang Rio dengan senyum yang kian melebar. "Lo nggak perlu tahu itu." Jawaban Helma membuat Rio mendengus. "Dia... siapa?"

Helma tahu betul siapa gadis yang duduk di sebelah Rio, tapi ia tidak mengenalnya. Hanya sebatas tahu jika gadis itu yang Rio dekap di depan gerbang. Sebuah bukti yang mungkin mengharuskannya untuk bersaing.

Orang bodoh juga tahu jika Luna sudah masuk dalam topik perbincangan. Rio menoleh, memberi isyarat pada gadis bersurai lurus itu untuk mendekat ke arahnya. Yang sayangnya sama sekali tidak direspon oleh gadis itu.

"Sini, deket aku." Karena Luna hanya diam, maka secara tidak sengaja ia sudah meminta Rio bertindak. Membuat tangan kokohnya meraih lengan Luna dan menariknya mendekat. Masih dengan kelembutan yang selalu menyelimuti tanpa henti.

Helma membelalak. Selama ia mengenal Rio, baru pertama kali cowok itu menggunakan pola kalimat yang terdengar lebih sopan. Juga perlakuan halusnya yang terlihat begitu jelas di mata siapa pun yang memandangnya. "Rio, gue udah bilang, kan, Lo nggak boleh deket-deket cewek lain yang bukan siapa-siapa Lo."

Rio tersenyum sinis, mengeratkan tangannya pada lengan halus Luna. "Tapi sayangnya Luna siapa-siapa gue."

"Ma —maksudnya?" tanya Helma berusaha lebih rileks.

Dengan kegagapannya, Rio sudah berhasil menyimpulkan jika cewek itu tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan raut bingungnya.

"Sebentar, Lo siapa sih kalo boleh tahu? Siapa gue, hah?"

Skakmat. Helma tak menjawab, tapi mata cewek itu mulai berkaca-kaca. "Kenapa... Lo berubah?" tanyanya getir.

Rio terkekeh, bukan seperti suara kekehan ketika cowok berikat kepala itu tengah bersama Luna. Ini berbeda, terdengar menyeramkan dan asing di telinga gadis bersurai lurus itu. "Harusnya Lo tanya itu sama diri Lo sendiri. Lo ninggalin gue gitu aja, tanpa ngomong apa pun. Apa itu namanya kalo bukan berubah?"

Luna bisa melihat dengan jelas mutiara bening yang menetes dari pelupuk mata Helma. Menyerap baik-baik apa yang mereka bicarakan, seolah ia sedang menyaksikan sebuah drama yang begitu menegangkan.

"Dan setelah pergi, Lo dengan nggak tahu diri dateng gitu aja. Bilang kalo gue nggak perlu lagi takut kehilangan, Lo. Asal Lo tahu, setelah Lo memutuskan untuk pergi. Nggak ada lagi nama Lo di hidup gue, nggak ada lagi sedikit pun rasa takut kehilangan, Lo," lanjut Rio.

 BLUE [Completed]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora