43. Memori masa lampau

52 9 1
                                    

"Ayah Ayah." Reon memanggil seraya mendekat.

Geralnd menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Mau dianter ke sekolahnya? Tenang, nanti kamu bareng Ayah berangkatnya," jelas beliau sembari tersenyum, sebelah tangannya mengelus puncak kepala Reon.

Geralnd tengah duduk santai di sofa dengan baju khas kantoran yang sudah rapi, begitu pun dengan Reon yang sudah siap meluncurkan banyak pertanyaan untuk gurunya.

"Ayah, buwung puwuh itu apa?"

Sontak saja, Geralnd terbatuk-batuk. Padahal beliau tidak sedang makan maupun minum, tapi tentu saja pertanyaan putra kecilnya begitu mengejutkan.

Ingin tahu itu bagus, sangat bagus malah. Menambah ilmu dan berpengetahuan luas. Apalagi untuk anak seusia Reon yang gampang menyerap ilmu. Tapi ingin tahunya Reon itu benar-benar beda. Membuat bingung sekaligus sebal si lawan bicara.

"Ayah migren?" Reon bertanya dengan kepala sedikit dimiringkan ke samping.

Ini lagi! Tidak ada ceritanya batuk dan migrain itu saudara kembar!

Tidak mau semakin mumet, Geralnd segara meraih tasnya. Bergegas berdiri dengan tergesa. "Nanti minta anterin, Bunda," ujar Geralnd sembari menepuk puncak kepala Reon dua kali. Terlihat begitu terburu-buru.

"BUNDA, AYAH BERANGKAT! JANGAN LUPA ANTERIN REON, YA!"

Bahkan beliau berpamitan dengan tidak sopan. Setelah itu menghilang di balik pintu utama.

Reon menggaruk pipinya dengan wajah bingung. "Katanya tadi mau nganterin Eon. Tapi kok kabur, sih?"

Tak lama setelah itu, Hana datang penuh tanya. Kedua tangannya penuh dengan tepung. "Lho, Ayah udah berangkat?"

Reon mengangguk singkat.

"Kan, tadi Bunda bilang tunggu sebentar. Kalau gitu siapa yang nganterin kamu?"

Pagi-pagi begini, Ibu dari dua anak itu sudah produktif membuat kue tanpa tahu siapa yang akan menjadi tampungannya. Tidak tahu siapa yang akan memakannya setelah itu.

"Reon berangkat sendiri aja, ya?"

Reon menggeleng kuat-kuat. "Nggak mau, nanti Eon diculik Bunda!"

"Halah siapa yang bakal nyulik kamu, nggak laku dijual. Mending juga kue Bunda. Enak, banyak yang minat." Hana berujar sekenanya. "Udah, ah. Kasian kue Bunda kalau ditinggalin lama-lama." Setelah itu kembali menuju dapur.

Reon hanya melongo layaknya orang bodoh. Menyedihkan sekali hidupnya pagi ini.

"Abang!" pekik anak itu kelewatan girang saat melihat Rio berjalan ke arahnya dengan tas yang menggantung di bahu kiri.

Sepertinya Rio baru saja keluar dari dapur.

"Bareng!" ucap Reon setelah Rio sampai di dekatnya.

"Udah dibilangin berkali-kali kalo cepirit itu nggak usah bareng-barengan. Sana buruan!" Rio menunjuk kamar mandi dengan dagunya.

"Ish! Eon bareng ke sekolahnya."

"Ohh..." Rio mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Kirain. Ya udah ayo."

Reon bersorak riang, setidaknya sebelum Rio kembali membuka mulutnya.

"Eh, ogah ya!" Sepertinya cowok berikat kepala itu baru sadar. "Kalo gue bonceng Lo, yang ada dikirain bawa anak monyet. Ngeri gue."

"Eon bukan monyet!" Reon menyangkal cepat.

"Tapi mirip!"

"Tapi bukan!"

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now