1. Tetangga baru

465 84 14
                                    


Luna berjalan mengendap-endap menuju dapur, kepalanya terus saja menenggok ke kanan kiri. Memastikan jika ia benar-benar tidak sedang tersorot kemera. Ia berusaha meminimalkan suaranya.

Senyumnya merekah saat mendapati Budhe Mina tengah muncuci piring di wastafel dengan bersenandung ria, menyayikan sebuah lagu yang menurut Luna sudah sangat jadul. Tanpa membuang banyak waktu, Luna berjalan pelan mendekati Budhe Mina.

Mengucap syukur saat ia sudah berdiri tepat di belakang Budhe Mina tanpa diketahui beliau. Luna mengangkat tangannya, bersiap mengejutkan Budhe Mina sembari menghitung mundur dari angka lima.

Saat hitungannya sampai di angka dua, tiba-tiba saja ada seseorang yang menepuk punggungnya. "Astagfirullah!"

Bukannya Budhe Mina yang kaget, malah ia sendiri yang terkejut. Apakah ini yang dinamakan kualat dengan orang tua? Ah, rasanya Luna sudah tidak lagi memikirkan hal itu.

"Astagfirullah. Eh, Astagfirullah."

Luna pikir Budhe Mina tidak akan kaget, tapi fakta merusak perkiraan Luna. Membuatnya merasa usahanya tak berakhir sia-sia.

Luna membalikkan badan guna melihat siapakah gerangan yang telah berani menganggu aksinya, bersamaan dengan Budhe Mina yang juga membalikkkan badan dengan tangan penuh busa.

Ia menatap tajam ke arah Leo —kakak lelakinya yang hanya terpaut umur satu tahun dengannya. "Apa?" tanya Leo sewot saat mendapatkan tatapan tajam Luna. "Kebiasaan! Nggak sopan banget jadi orang. Emang Lo mau kalo Lo udah tua dan punya riwayat penyakit jantung, terus dikagetin gitu?!"

"Iya, si Eneng mah. Budhe kan kaget, Neng," sahut Budhe Mina membenarkan.

Luna mengerucutkan bibirnya sembari menatap Budhe Mina secara sekilas, lalu beralih menatap Leo yang sudah menatapnya tajam. "Lo ngedoain gue supaya punya penyakit jantung, gitu?"

"Kalo iya, kenapa?!" tanya Leo dengan nada tinggi.

Tanpa mempedulikan Leo, Luna menatap Budhe Mina. "Lagian nih ya, Budhe. Kalo Budhe nggak kagetan, Luna juga pasti nggak akan ngagetin kok," jelasnya membela diri.

"Ya Budhe juga nggak mau jadi orang kagetan, Neng. Namanya juga takdir, mau nggak mau juga harus tetep dijalani, Neng."

Luna terkikik dalam hati. Sedikit tak percaya bahwa orang sejenis Budhe Mina bisa menyebut kata 'takdir'. Hingga sebuah jitakan membuatnya semakin kesal. "AWW! SAKIT, LEOOO," teriaknya dengan suara menggelegar.

Kadang, mereka memang seperti itu. Leo bisa mengamuk ke Luna begitu pun sebaliknya, atau keduanya sama-sama menggamuk di waktu yang bersamaan. "Lagian Lo mah bandel jadi bocah."

"Udah nggak usah berantem, nanti Budhe jadi merasa bersalah. Dan ujung-ujungnya Budhe jadi nyalahin takdir." Budhe Mina berusaha melerai kedua bersaudara itu.

Lagi-lagi Budhe Mina menyinggung tentang takdir.

"Ngapain sih pagi-pagi ribut?" Pamela —Ibu dari kedua anak itu muncul dengan sebelah tangan membawa kemoceng. Walaupun ada Budhe Mina yang bertugas mengurus pekerjaan rumah, tapi Pamela tetap melakukan beberapa pekerjaan rumah, karena menurutnya seorang Ibu yang baik bukanlah orang yang kerjaannya hanya berleha-leha saja.

"Biasalah, Ma. Si Luna kalau anteng bentar aja, tangan, kaki rambut, mulut, lidah sampe kuping sekalipun juga bakal gatel-gatel," ucap Leo menyahut.

"Tapi kan aku—," pembelaannya harus terhenti saat suara Papanya —Darma, terdengar.

"Luna." Suara itu seakan seperti perintah tanpa bantahan. Luna selalu saja ingin membantah, tetapi dari kecil seakan ada suatu kekuatan yang membuatnya tidak pernah membantah ucapan Papanya. Sosok yang hanya akan berbicara jika ada hal yang memang harus sepatutnya diungkapkan saja.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now