46. Euphoria

45 11 0
                                    

Selayaknya kertas usang, dia tidak mungkin hilang. Hanya terselip dalam ribuan orang, lalu kembali pulang. Seperti itulah kebahagiaan.

***

Luna sudah akan memejamkan matanya saat mendengar suara pintu terbuka. Tentu saja ia langsung membuka mata dengan perasaan senang.

Tapi harapannya harus hancur saat pintu ruangannya nyatanya tertutup rapat. Asal suara tersebut berasal dari pintu kamar mandi, memunculkan sosok tampan tanpa ikat kepala.

Anak mana yang tidak merasa sedih saat orang tuanya tidak kunjung datang setelah ia koma selama dua hari?

Rasanya Luna ingin sekali menangis, tapi tidak bisa. Entah kenapa.

"Awh..." Gadis bersurai lurus itu meringis pelan kala merasakan sebuah sentilan lembut di dahinya.

"Ngelamun mulu."

Rio lantas menarik kursinya mendekat, duduk di sana dengan wajah yang tampak lebih segar. Luna memandangnya tanpa berkedip. Pertama, karena cowok itu terlihat lebih tampan tanpa ikat kepala. Kedua, karena rambutnya basah semua, seperti habis kecemplung comberan.

"Habis ngapain, sih?" Luna yang penerasan, bertanya.

"Cuci mukalah," sahut Rio santai.

"Kok rambutnya basah semua gitu?" Luna sampai heran. Apa cowok itu sengaja membasahi seluruh rambutnya juga?

Luna menjulurkan sebelah tangannya yang tidak dihiasi selang infus, bahkan T-shirt hitam polos yang dikenakan Rio sampai basah di beberapa bagian.

"Kerannya bocor."

Luna yang sudah bingung, semakin bertambah bingung. Entah Rio hanya mengibul atau bagaimana, ia sudah tidak peduli sekarang- saat tangannya merambat ke atas. Menyisir rambut basah cowok itu dengan jari-jari tangannya.

"Nggak enak di sini," keluhnya kemudian.

Jika dihitung-hitung, Luna sadar belum sampai satu hari. Tapi gadis itu sudah mengeluh dengan wajah murung.

"Enak-enakin makanya biar cepet pulang," jawab Rio. "Tidur gih, katanya tadi mau tidur."

Luna tidak mengatakan apa-apa lagi. Menarik tangannya dan memejamkan mata seakan mengiyakan. Rio menghela nafas lega saat gadis itu memilih tidur.

"Eh?" Namun sayang, beberapa menit kemudian Luna kembali membuka matanya.

"Kenapa?" tanya cowok itu. Luna yang memasang wajah bingung membuatnya ikut bingung juga. "Ada yang sakit? Sebelah mana yang sakit?" tanyanya lagi dengan nada panik.

Luna menggeleng. "Aku kok baru inget yah."

Rio mengernyit bingung. "Apa?"

"Waktu itu aku beli martabak telor, pengen banget soalnya. Emang agak jauh belinya, soalnya kata Dove di sana martabaknya enak. Terus pas akunya ketabrak, martabaknya kelempar kemana, ya?" tanya Luna bingung sembari mengingat-ingat.

Cowok itu menghela nafas jengah. Ia sudah benar-benar panik dan Luna masih memikirkan nasib martabaknya yang entah hilang kemana. Gila saja!

Hanya perasaannya saja, atau mungkin kebenarannya. Luna menyebalkan sekali setelah membuka mata. Tidak melek membuatnya panik, melek membuatnya piknik.

Piknik di sini dalam artinya membuat pikirannya berkeliaran kemana-mana. Memikirkan yang tidak-tidak.

"Ngapain mikirin martabak sih, Na? Tidur sana!"

"Tapi sayang tau!"

"Ya udah besok beli lagi apa susahnya," sahut Rio tak mau kalah.

"Itu belinya susah tau! Harus antri, mana antriannya panjang banget lagi. Terus kalo udah nunggu antrian lama banget taunya nggak kebagian? Kan nyebelin!" jelasnya panjang lebar.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now