28. Asterales

62 9 0
                                    

Oleh sebuah alasan yang sulit dijelaskan, Luna jadi sering memandang langit malam. Menatap bulan dan bintang yang berani menunjukkan cahayanya di tengah kegelapan.

Karena tidak mungkin ia menaiki pagar pembatas bersama Rio setiap hari, jadi Luna hanya mampu berada di balkon kamarnya. Meskipun ia tahu akan terasa berbeda bila cowok berikat kepala itu ada di sampingnya.

Rio akan memberikan kehangatan dalam angin malam yang berhembus tanpa ragu, memberikan ketenangan serta kebebasan yang tidak pernah ia dapat sebelumnya. Atau yang paling memalukan, cowok berikat kepala biru terang itu selalu berhasil membuat pipinya merona dengan begitu konyol.

"LUNA, ADA RIO DI DEPAN!"

Gadis bersurai lurus itu terperanjat, mengelus dadanya sembari memberikan kesabaran. Mamanya benar-benar hebat jika urusan berteriak kencang. Membuat telinga dan jantungnya kerap kali bermasalah.

Luna akan sangat senang jika masalah degup jantungnya sama seperti yang Rio sebabkan. Tapi ini tidak sama sekali.

Seakan baru tersadar dengan ucapan Mamanya, Luna segera memasuki kamar dengan berlari menghampiri meja rias. Meneliti penampilannya dan merapikan rambut kucir kudanya yang sedikit berantakan.

"Luna! Itu buruan, malah dandan segala."

Luna kembali terkejut untuk yang kedua kalinya saat Pamela tiba-tiba muncul di balik pintu. Ia mengelus dada, lagi.

"Lagian sejak kapan kamu peduli penampilan?"

"Luna ng —nggak dandan, kok," sahut Luna gelagapan. Sialnya, ia malah gagap segala.

"Ya udah sana buruan. Rio nungguin di teras, tuh."

Gadis bersurai lurus itu mengangguk. Melewati Pamela begitu saja dengan berlari kecil. Terlihat lebih semangat dari biasanya. Beliau menggelengkan kepalanya, heran.

Luna menghampiri Rio yang tengah duduk santai di kursi teras dengan kebingungan. "Rio, kamu kok nggak —, "

"Ikut aku bentar, yuk," ajak cowok itu dengan tersenyum manis, sebelah tangannya memegang lengan Luna yang sudah berdiri di sebelahnya.

Terlihat jelas kerutan di dahi Luna. "Ke mana?"

"Ke mana aja," sahut Rio santai dengan kepala mendonggak. Tangannya masih bertengger di pergelangan Luna.

"Ya ke mana dulu."

"Nggak mau, ya?"

"YA JELAS MAU —" Luna menghentikan teriakan tak santainya. Sudah terlalu sering memiliki keinginan mengutuk mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi. "...lah," lanjut gadis itu begitu lirih, wajahnya tampak mengemaskan di mata Rio.

Rio tersenyum, memandang Luna dengan geli. "Ya udah sana, ganti baju. Jangan lupa pake jaket."

Dengan cemberut, Luna membalikkan badan setelah Rio melepaskan tangannya. Kembali mengelus dada untuk yang ketiga kalinya karena ulah Pamela. Tiba-tiba saja Mamanya itu sudah berdiri di hadapannya tanpa ada tanda-tanda.

"Mama kok ngagetin terus, sih?" tanya Luna merasa jengkel.

"Itu yang Budhe rasakan karena ulah kamu, Luna," jawab Pamela dengan cepat. "Nggak enak, kan? Makanya jangan suka bikin kaget orang tua."

Gadis bersurai lurus itu mencibir, memasuki rumah dengan kaki dihentak-hentakan. Meninggalkan Rio dan Pamela di teras rumahnya.

Luna segera menganti bajunya secepat mungkin. Pamela benar, Luna bukanlah sederet perempuan yang peduli dengan penampilannya karena ia menyukai sesuatu yang simple dan membuatnya nyaman.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now