33. Cela

63 8 0
                                    

"Rio..."

"Tidur lagi, ya." Cowok berikat kepala biru terang itu mengusap puncak kepala Luna, berupaya menutupi wajahnya yang nampak tak tenang.

Hembusan nafas lega tercipta saat Luna menganggukkan kepalanya. Rio sempat terkejut, memudar kala hal tersebut jauh dari apa yang ia pikirkan sebelumnya.

Luna mulai memejamkan matanya kembali, menikmati usapan penuh kelembutan yang membelai kepalanya. Setidaknya, ia masih mempunyai kehangatan yang rasanya tidak ada habisnya. Itu jauh terasa lebih baik.

Deru nafas yang tenang menandakan jika gadis bersurai lurus itu sudah kembali menyelami alam mimpi.

Semenjak awan hitam menaungi Luna, Rio seperti mempunyai akses masuk ke rumah ini.

Pamela seolah tak peduli. Bahkan mungkin beliau juga akan diam saja jika ada maling yang masuk dengan perijinan penuh kesopanan.

Budhe Mina justru senang kala Luna tidak lagi sendirian. Walaupun beliau tidak pernah mengalami wisuda SD, tapi Budhe Mina dapat mengetahui dengan jelas jika Luna tampak lebih terlihat tenang saat Rio datang.

Sedangkan Darma hanya diam, tidak memberikan teguran sama sekali. Mungkin merasa tertohok kala Luna lebih membutuhkan bocah ingusan itu ketimbang dirinya. Darma merasa jika Rio seolah menunjukkan jika apa yang ia ucapakan tidak main-main.

Tapi jika bocah ingusan itu berani macam-macam dengan anak gadisnya —anak satu-satunya sekarang ini —Darma akan memberikan pelajaran yang setimpal. Atau mungkin pelajaran yang lebih kejam ketimbang kesalahan yang diperbuat.

Cowok dengan ikat kepala biru terang itu tersenyum, mengagumi paras seorang gadis yang tengah terlelap dengan tenang bertepatan dengan musik yang berhenti mengalun. Ia terkekeh, mengingat kelakuan konyolnya beberapa hari lalu.

"Yah."

Darma yang sedang fokus hanya bergumam tanpa menolehkan kepalanya.

"Rio mau ngomong," ucap cowok itu setelah mendudukkan diri di sebelah Geralnd. Rio baru saja pulang dari rumah Luna dan Darma masih betah melek saat anak bungsunya sudah ileran.

"Itu barusan udah ngomong." Darma masih fokus menatap telivisi di hadapannya.

Cowok berikat kepala itu terdiam sejenak sebelum menghembuskan nafasnya dengan gusar. "Gimana kalo Luna tinggal di sini?"

Barulah Geralnd menoleh dengan mata terbelalak. "Kalo ngantuk tidur, nggak usah gegayaan ngomong segala," ucap beliau kemudian dengan wajah yang tampak lebih santai.

"Boleh ya, Yah?" tanya Rio tanpa mempedulikan ucapan Geralnd barusan.

Plak.

"Aduh." Rio meringis. "Sakit, Yah!" geramnya sembari mengusap puncak kepalanya yang barusan kena tempelengan.

Geralnd memandang putranya dengan tatapan seolah tak percaya. "Are you crazy, boy?" Tatapannya berganti menjadi tajam. "Jangan ngaco kamu! Sana tidur!"

"Yah —,"

"Luna masih punya rumah, Rio."

"Iya, tahu tap —,"

"Dia juga masih punya orang tua!" Geralnd bahkan tak habis pikir dengan anaknya yang satu ini. "Sembarangan main gondol anak orang gitu aja."

Mungkin saja diam-diam di tengah amarahnya kali itu Geralnd menertawakannya dengan lantang. Ah, memalukan sekali. Padahal niatnya baik, ia hanya ingin Luna tidak merasa 'sendiri' di rumahnya sendiri.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now