9. Dekapan

111 27 6
                                    

Dua kakak-beradik itu tengah asyik menatap layar di hadapan keduanya, menyaksikan film action yang kebetulan sedang tayang malam ini.

Sepertinya seluruh anggota tubuh Luna hanya tiga saja yang bekerja saat ini. Pertama matanya yang menyorot ke depan tanpa bisa berpaling sedikit pun, kedua tangannya yang tak tinggal diam menyuapkan roti kering ke dalam mulutnya, dan yang ketiga tentu saja mulutnya yang nampak tak pernah berhenti mengunyah.

Leo pun juga sama adanya, sesekali ia mencomoti kue kering dalam toples yang ada di pangkuan adik perempuannya. Atau mungkin menjerit secara bersamaan saat hal-hal menegangkan terjadi.

Alat pengukur waktu sudah menunjukkan angka sebelas, namun nyatanya mata keduanya masih menyala dengan terang layaknya sinar rembulan. Kantuk tak kunjung menyerang dan malam ini adalah kesempatan bagi mereka.

Hanya ada mereka berdua di rumah ini, orang tua keduanya belum pulang dan Budhe Mina juga sudah pulang ke rumahnya. Jadi, tentu saja tidak ada yang akan menegur kakak-beradik itu karena telah begadang tanpa mengingat esoknya akan berangkat sekolah seperti biasa.

Saking serunya, Luna dan Leo sampai tak mendengar suara mobil yang memasuki pekarangan rumah. Mereka baru tersadar saat derap langkah kaki terdengar semakin nyata.

Karena kabur ke dalam kamar masing-masing bukanlah sebuah solusi yang tepat di waktu yang singkat, jadi dengan kompak, mereka merebahkan diri di atas sofa yang sama.

Luna masih memeluk setoples kue kering saat matanya pura-pura terpejam rapat, ia bahkan sampai tak sempat melempar toples yang masih betah bertenger di tangannya.

Leo sudah memasang mode ngorok andalan dengan mulut sedikit terbuka. Luna mengernyit saat aroma tak sedap menerpa indra penciumannya. Ahh, ia sampai lupa bahwa posisi 'pura-pura tidur' keduanya berbalik arah. Dan dapat dipastikan jika aroma tak sedap itu berasal dari kaki Leo yang mungkin bertenger tepat di hadapan wajahnya. Sialan!

Luna harus menahan nafas saat suara langkah kaki terasa semakin dekat, disusul suara terkejut milik Pamela yang terdengar heboh. "YA ALLAH! INI KENAPA MEREKA TIDUR DI SINI?" teriak Mamanya yang langsung mendapat teguran dari Darma.

"Ma! Jangan kenceng-kenceng, nanti mereka bangun."

"Ya mereka memang harus dibangunin dong, Pa. Kasihan kalau harus tidur di sofa sampai pagi," jawab Pamela. "Mana satu sofa buat berdua lagi."

Luna berdoa dalam hati agar kedua orang tuanya segera menghilang dan masuk dalam kamar agar ia bisa dengan mudah menghempas kaki Leo yang baunya melebihi gundukan sampah.

"Ya udah, bangunin Leo aja, nanti suruh dia gendong Luna ke kamar. Papa mau ke kamar, capek." Ucapan Darma barusan membuat Leo memekik dalam hati. Kenapa pula harus ia yang sengsara? Sementara Luna yang tak tahu diri itu sering kali mendapat enaknya.

Leo kembali meningkatkan frekuensi groroknya ketika Pamela mengguncang bahunya. "Bang, bangun."

"Bang! Bangun, buru. Atau mau Mama siram pake air panas?"

Leo segera membuka matanya secepat mungkin, lalu beralih mamasang muka bantal dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. Padahal tadi saja sudah melotot saat mendengar ancaman kejam Mamanya. "Sana pindah ke kamar."

Cepat-cepat Leo segera beranjak karena Mamanya mendadak melupakan perintah sang Papa yang menyuruhnya mengendong Luna ke kamar. Tapi baru dua langkah, suara Pamela kembali menyapa indra pendengarannya. "Ini sekalian gendong adik kamu ke kamar."

Leo membalikkan badan dengan wajah yang dibuat sebantal mungkin. Jika bisa, ia bahkan akan dengan senang hati mengubah wajahnya menjadi kapuk sekalipun. "Maaaaa, ngantuk," rengeknya kemudian. "Mama ajalah yang gendong Luna."

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now