42. Titik terendah

51 7 0
                                    

Luna pikir, akan ada kristal bening yang melewati pipinya. Tapi ternyata tidak, justru ia malah tertawa kencang. Wujud pengeluaran emosi yang tidak wajar.

Gadis bersurai lurus itu bahkan tidak bisa mengendalikan tawanya, membuat beberapa orang mulai menoleh dengan tatapan keheranan.

Luna segera berjalan ke arah toilet dengan kepala tertunduk. Surai lurusnya yang tergerai menjuntai menutupi sebagian wajahnya. Dengan langkah kaki tergesa, ia berusaha mengurangi suara tawanya yang tidak bisa dikendalikan.

Tidak tahan ditatap sedemikian rupa, Luna mengubah langkah tergesanya menjadi berlari. Ia menghela nafas lega saat berhasil sampai pada salah satu bilik toilet.

Luna segera membasuh mukanya dengan air dingin, sebanyak mungkin sampai tawanya perlahan mereda.

"Ini... kenapa?" tanyanya lirih.

Mengapa reaksi tubuhnya benar-benar aneh?

Luna tidak mungkin gila! Tidak mungkin!

Ia menarik nafas dalam-dalam, menghilangkan pikiran buruknya dan menenangkan diri. Setelah merasa benar-benar tenang dan lebih rileks, Luna memberanikan diri keluar.

Luna harus bisa berpura tuli dan buta. Ia tidak perlu mendengar dan melihat reaksi orang-orang di sekitarnya jika tidak ingin semakin hancur.

Tapi faktanya Luna tidak bisa melakukan apa yang ia harapkan. Oleh alasan tidak ingin kembali jatuh tanpa ada yang menolongnya, Luna memilih jalan memutar. Melewati lorong sepi adalah apa yang ada di pikirannya sekarang.

Langkahnya terhenti secara tiba-tiba, hanya karena melihat cowok berikat kepala biru terang yang dengan santai bersandar di tembok. Tapi bukan itu masalahnya, melainkan sebatang rokok yang terselip di sela jarinya.

Teramat santai saat Rio mengepulkan asap dari dalam mulutnya. Seolah tidak ada masalah merokok di lingkungan sekolah.

Entah sudah ke berapa kalinya, omongan cowok itu tidak dapat dipercaya.

Mungkin bagi sebagian orang, Rio terlihat begitu keren dan memukau sekarang. Tapi menurut Luna tidak sama sekali, dengan posisi punggung bersandar di tembok, kaki menyilang, ikat kepala biru terang di kepala yang tidak pernah absen, juga kepulan asap rokok yang seakan mengisi sunyinya lorong.

Rio masih tidak menyadari keberadaan Luna. Masih begitu santai dengan posisinya.

Dengan penuh keberanian, Luna berjalan mendekat. Tidak peduli dengan resikonya setelah itu.

"Rio." Luna memanggil setelah sampai di sebelah cowok berikat kepala biru terang itu. Barulah Rio menoleh. Apa mungkin, barusan cowok itu melamun sampai-sampai baru menyadari kehadiran Luna saat gadis itu memanggil namanya?

Sebuah senyuman miring menyambut Luna, dan bukan itu yang ia harapkan.

Sebelum membuka mulut, atau lebih tepatnya memberi ucapan pedas miliknya, Rio kembali menyesap rokoknya. Menimbulkan kepulan asap yang membuat Luna tidak nyaman.

"Kenapa? Mau laporin ke pihak sekolah? Laporin sana! Tolol!" umpat cowok itu. Sudah seperti orang mabuk, padahal Luna yakin seratus persen jika Rio dalam keadaan sadar sekarang.

"Enggak kok," sahut Luna. "Kalo kamu buang benda itu sekarang."

Luna merasa benar-benar lega saat Rio menjatuhkan rokoknya ke lantai, lantas menginjak benda tersebut tanpa ragu. Tapi tidak ada perasaan lega kala Rio merogoh sakunya, kembali menyalakan satu puntung rokok baru dengan begitu sengaja.

Gadis bersurai lurus itu memandangnya, tak habis pikir.

"Orang gila nggak usah ngatur orang waras."

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now