23. Definisi kebebasan

67 10 0
                                    

Rio melangkahkan kakinya memasuki kelas. Seperti biasa, tidak mungkin cowok berikat kepala biru terang itu tak menarik perhatian beberapa pasang mata. Padahal ia juga tidak pernah tebar pesona, hanya berjalan semestinya dengan langkah lebar.

Ia mendudukkan diri. Matanya memandang Luna yang tengah menatap layar ponsel tanpa berkedip. Cowok itu menghembuskan nafasnya setelah tau jika seseorang yang memenuhi layar ponsel gadis itu adalah Justin Bieber.

Rio menyenggolkan sikunya, barulah gadis bersurai itu menoleh sembari menunjukkan deretan gigi putihnya. "Minta minum dong, Na."

Luna mengerutkan keningnya, menatap Rio penuh keheranan. "Minum?" ulang gadis itu berniat memastikan.

"Iya."

Sedikit ragu, Luna merogoh loker mejanya, mengeluarkan botol minumnya dari sana dan menyerahkannya tepat di hadapan Rio. Tanpa menunggu, cowok berikat kepala itu segera menenggak air minum Luna. Berlari dari kejaran Devandra sedikit membuatnya kehausan di pagi yang cerah ini.

"Ri," panggil Dove dengan badan yang sudah menghadap ke belakang.

Rio berdeham di sela-sela tegukkannya. Sementara Luna, tanpa sadar memandang Rio dari samping dengan kefokusan membara. Apa lagi saat ia melihat jakun Rio yang naik turun dengan pasti.

"Gue mau nanya lupa mulu, deh."

"Muka doang kelihatan seumuran sama gue, otak Lo udah kayak Aki-aki aja. Pikunan," timpal Rio sembari menutup botol minum Luna.

"Enak aja, Lo!" Dove melotot tak terima. "Kayak Lo nggak bakal tua aja."

Rio terkekeh. "Nanya apa?"

Dove sudah siap membuka mulutnya, tapi matanya tak sengaja mengarah pada Luna yang masih saja menatap Rio dengan gairah. "Anjir, zina mata!" Cowok bergelang karet itu memekik heboh dengan ibu jari yang mengarah pada gadis bersurai lurus itu. "Luna ngelihatin Lo pake nafsu, masa!"

Refleks, kepala Rio memutar ke samping. Menatap Luna yang memasang wajah bodoh dengan mata yang dikedipkan berkali-kali membuat bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman.

Luna menggelengkan kepalanya, terlalu kuat hingga terlihat seperti mengelak dalam kebenaran. Menambah keyakinan Dove samakin besar. "Enggak! Enak aja Lo kalo ngomong," sangkal gadis bersurai lurus itu.

"Ri, gue mau ngomong benaran ini." Dove kembali memandang Rio membuat cowok berikat kepala itu mengalihkan pandangannya menatap Dove hingga Luna berhasil bernafas lega. "Bodo amat sama Luna yang lagi berzina, yang penting bukan gue yang kena dosanya," lanjutnya.

Jika sekarang ini mereka sedang berada di dunia kartun, mungkin saja kepala Luna sudah mengeluarkan dua tanduk dengan hidung dan telinga yang mengeluarkan asap. Ia sudah siap berdiri, berniat menghantam rahang Dove dengan tonjokkannya saat Rio justru menahan tubuhnya sembari menggeleng yakin.

Merasa mendapatkan sebuah pembelaan, Dove bersorak dalam hati. Memberikan acungan jempol ke arah Rio yang menjunjung tinggi keadilan karena cowok itu tanpa ragu tetap membela Dove meskipun Luna sudah menyandang gelar menjadi cewek Rio sekalipun.

"Nanya apaan?" tanya Rio santai. Sedangkan Luna kini sudah bersungut-sungut di tempat duduknya.

"Cewek yang waktu itu di rumah Lo... siapa?

Rio sempat terdiam. Bertanya-tanya dengan dirinya sendiri siapa orang yang dimaksud Dove hingga menemukan sebuah jawaban. Hanya sekali Dove datang ke rumahnya, itu artinya, Dove sempat berpapasan dengan Helma tanpa ia ketahui. "Ohh, itu anak SMA di sekolah gue yang lama," jawabnya kemudian.

Dove manggut-manggut. "Terus kenapa dia nangis-nangis waktu itu?" tanya Dove dengan rasa penasaran yang memuncak.

Diam-diam, Luna memasang telinganya dengan tangan yang sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Menunggu jawaban seperti apa yang akan Rio lontarkan.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now