38. Jatuh

47 11 0
                                    

Tujuan Luna sekarang bukan lagi menyusul Rio— yang nyatanya tengah bermesraan dengan gadis lain, melainkan toilet. Itu hanya tempat satu-satunya yang bisa ia gunakan untuk menyendiri. Jika istirahat begini, mana ada sudut yang sepi? Semua sudut pasti penuh dengan lalu lalang siswa-siswi.

Mau tidak peduli sekalipun, Luna tetap bisa sadar jika beberapa pasang mata menyorot ke arahnya. Seakan ia Plankton yang berusaha mencuri resep krabby patty milik Tuan Krabs. Memangnya ada yang salah dengan dirinya?

Luna itu cengeng, tidak seperti jiwanya yang liar. Jadi mau berusaha sekeras apa pun menahan air matanya agar tidak keluar, itu merupakan sebuah hal yang percuma.

Saat tengah menahan suara tangisnya begini, ponsel di saku seragamnya malah bergema. Lagu sorry milik Justin Bieber sang pujaan hati mengalun dengan merdu, sebuah judul yang ia harap keluar dari bibir cowok berikat kepala biru terang.

Nama Shilla terpampang di sana, membuat tangan Luna segera menggeser slide answer.

"Ya?" tanyanya dengan suara yang diusahakan terdengar biak-baik saja.

"Lun! Lo kok nggak bilang kalau—ahh, gue turut berduka cita ya. Semoga Abang Lo tenang di sana."

Luna mengaminkan dalam hati.

"Telat banget ya gue, baru tau soalanya. Gue juga nggak bakal tahu kalau Dove nggak ngasih tau. I think, you're not a weak girl." Shilla diam beberapa saat. "Lo sekarang udah nggak pa-pa, kan?"

Gadis bersurai lurus itu menarik nafas dalam-dalam. "Sekarang gue percaya sama omongan Lo," ucapnya dengan suara serak. Lebih tepatnya, ia percaya untuk yang kedua kalinya. Meskipun kali pertama ia percaya hanya karena sebuah kesalahpahaman.

"Hah? Omongan yang mana? Percayaan apaan anjir? Kenapa suara Lo begitu?"

"Gue lagi flu."

"Flu? Itu lebih dari flu. Lo... nangis? Kenapa? Nggak usah mikirin yang macem-macem kali, gue yakin kok kalau Abang Lo bakal pergi dengan tenang, asalkan orang yang ditinggalkan ikhlas."

"Shilla, cowok tuh omongannya emang nggak bisa dipegang gitu, ya?" Luna bertanya dengan suara yang mendadak serius.

Yang ditanya justru tertawa di seberang sana. "Luna, sejak kapan Lo nangis gara-gara cowok? Itu bukan Lo banget tau!"

Shilla sudah berpikir bagaimana sedihnya Luna kala ditinggal Leo. Mengingat ia begitu tahu bagaimana kedekatan Luna dengan Leo. Tapi tiba-tiba bocah yang tidak peduli dengan spesies jantan itu mendadak membahas hal yang membuatnya terkejut sekaligus tertawa.

"Tau. Tapi emang ada cewek yang nggak nangis kalo diselingkuhin?"

Tawa Shilla semakin kencang diseberang sana. "Heh, gandeng maneh!" Sampai sepertinya ada temen Shilla yang menegur anak biadab itu. "Bwahaha, sejak kapan Lo demen sama cowok? Sampe diselingkuhin segala? Berarti udah pacaran dong? Wah gila, sih, gue ketinggalan banyak perubahan di sana!"

"Gue lagi banyak masalah sekarang asal Lo tahu, tapi yang ada Lo malah ketawa-ketiwi kayak kuntilanak."

"Kuntilbapak sama kuntilmamak ajalah biar keren." Shilla masih cengengesan.

"Gue lagi serius Shilla!"

"Oke-oke, sok cerita."

Luna sebenarnya paling malas jika harus bercerita banyak hal melalui panggilan telepon begini, lebih enak berbicara empat mata secara langsung. Apalagi, ini masalah pribadi. Tapi karena terpaksa ya mau tak mau ia harus mau.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now