2. Kesalahan

265 63 10
                                    

"Udah belum sih, Na?"

Luna berdecak sebal, pasalnya dari tadi Rio terus saja menanyakan hal yang sama. Dan itu tentu saja membuatnya terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi.

"Bisa diem nggak sih, Lo?! Kalo udah, gue juga nggak bakal di sini terus! Lagian Lo tuh bikin gue jadi nggak fokus tau nggak? Lo pikir gue dari tadi cuma ngejongkrok doang di sini?!" omelnya tanpa mengalihkan pandanggannya ke arah atas.

"Pulang aja yuk, Na." Jawaban Rio terdengar seperti seorang bocah yang tengah merengek, membuat Luna semakin dibuat kesal.

Daripada misinya gagal, jadi Luna memutuskan untuk tidak mempedulikan Rio. Memilih fokus pada dahan-dahan pepohonan. Lalu mencoba mengapai-ngapai dahan pohon jambu biji untuk mendapatkan buahnya. Ia sesekali meringis saat semut besar menggigitnya tanpa permisi.

Jadi setelah membeli bubur ayam, Luna memerintah Rio untuk menghentikan sepedanya di samping pohon jambu, mumpung daerah sekitar sedang sepi. Walaupun Rio bingung, tapi ia tetap menurut dan berujung pada penyesalan.

"Kalau ketahuan yang punya gimana coba?" Rio masih saja terus menggoceh dengan kepala yang ditengokkan ke kanan dan kiri, mencoba waspada dengan keadaan sekitar. "Lagian kenapa nggak ijin minta aja sih sama yang punya."

Luna kembali berdecak. "Lama-lama gue ludahin juga Lo dari sini!" ancamnya dengan menundukkan kepalanya, menatap Rio dari atas pohon.

Mulanya, Luna memang akan merasa sungkan dengan orang baru, mencoba bersikap baik meskipun orang tersebut menjengkelkan. Tapi dengan Rio, Luna begitu berani menunjukkan bagaimana dirinya tanpa perlu memasang topeng.

"Kalau yang punya nggak pelit, gue juga pasti udah ijin mau minta. Salah sendiri jadi orang medit," lanjutnya mulai menyumpah serapahi pemilik pohon jambu biji yang kerap kali dicuri oleh Luna.

Luna mencoba melangkah lebih ke atas agar bisa meraih jambu yang terasa menggiurkan.

"Tapi, kan, kalo gini gue jadi nggak tenang, Na. Takut ketauan. Ya walaupun sebenernya gue nggak ikut-ikutan."

"Heh!" Luna kembali menundukkan kepalanya, menatap Rio. "Rio yang ganteng, yang baik, yang imut, yang rajin menabung dan rajin sholat," lanjutnya dengan nada dilembutkan yang justru akan terasa menjijikan di telinga siapa pun. "Kalau Lo nggak banyak bacot, gue udah turun dari tadi ya. Dari tadi Lo ngajak ngomong mulu perasaan, nanya-nanya mulu."

"Lo dari tadi juga ngedumel mulu ya, betewe," sindir Rio.

"Apa Lo bilang?!"

"Nggak ada!"

"Lo nggak tau aja dari tadi gue nahan perih gara-gara semut sialan."

"Kan, ngedumel lagi tuh bocah," ucap Rio lirih.

"Finally!" teriak Luna kegirangan yang kemudian dengan gesitnya langsung melompat turun. Untuk urusan panjat-memanjat memang tidak perlu diragukan lagi. Karena dari kecil Luna sudah sering diperintah Leo untuk menggambil layangan yang tersangkut di atas pohon, dalam catatan bukan yang tinggi-tinggi banget. Yang ada nanti malah Leo yang kena santet Mamanya kalau Luna terjatuh, kalau nggak tinggi, kan, Luna nggak akan jatuh. Begitu pikirnya. Dan anehnya Luna menuruti perintah Leo tanpa protes.

Tanpa mempedulikan hygiene sama sekali, Luna langsung menggigit ujung jambu tanpa mencucinya terlebih dahulu —membuat Rio yang menatapnya bergidik.

"Mau nggak?" tawar Luna kemudian tanpa dosa dengan menyodorkan jambu yang terdapat bekas gigitannya. Jangan lupakan mulunya yang sedang mengunyah dengan semangat.

"Jorok banget sih, Lo! Sakit perut baru tau rasa." Rio yang ditawari malah menyumpahi Luna begitu saja. Dasar cowok nggak tahu diri!

"Buktinya gue udah makan jambu di sini berkali-kali tapi nggak pernah sakit perut, tuh."

 BLUE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang