5. Ada apa-apa

158 51 4
                                    

Mungkin sekarang memang tidak pa-pa, tidak ada apa-apa. Tapi itu hanya perasaan manusia, yang bisa saja hanyut oleh waktu. Yang bisa saja berlalu dengan ketakutan hingga pagi bukan lagi keistimewaan.

***

Jangan tanyakan bagaimana reaksi Luna saat Rio dengan tak tahu diri menghampiri dan menarik tangannya tanpa ijin. Saat sorot mata kebingungannya menyirat, Rio menuntunnya menaiki sepeda yang kala itu pernah Luna tumpangi bersama sang pemilik menuju warung bubur.

Dengan lembut, Rio mengarahkan tangan Luna agar berpegangan dengan erat di bahunya. Tentu saja keinginan untuk memberontak sangat besar. Apalagi saat pandangan seluruh siswa terarah padanya. Dan juga tatapan bingung yang berubah menjadi tatapan penuh permusuhan milik Devandra.

Lidahnya kelu, badannya seperti bisa dengan mudah menerima perlakuan cowok berikat kepala yang selalu menarik perhatian kaum hawa, otaknya seakan hanya bekerja saat mendengar suara lembut yang keluar dari bibir merah muda milik cowok itu. Dan itu semua di luar akal pemikiran Luna.

Rio sudah bersiap mengayuh sepedanya. Sebelum benar-benar meninggalkan sekolah, Rio menyempatkan diri menolehkan kepalanya ke samping. Menatap Devandra yang masih tak bereaksi kecuali tatapan nyalang miliknya. "Sorry ya, gue buru-buru. Bye...."

Awan yang bersinar cerah setelah tadi sempat turun hujan menaunggi mereka berdua saat sepeda Rio sudah memasuki jalanan. Hening menyelimuti. Rio sepertinya masih enggan membuka mulutnya, setidaknya sekedar memberi alasan mengapa ia menarik Luna tanpa penggajuan. Sedangkan Luna seperti masih terhipnotis dengan suasana sekitar.

"Maaf." Satu kata yang berhasil menelusup ke dalam indra pendengaran Luna membuatnya menggerjapkan mata berkali-kali. "Gue nggak tahu seberapa ganasnya Devandra ke cowok-cowok, dan yang tadi itu sebagai bukti kalo gue terganggu sama sifat dia yang... yah mungkin dengan itu dia pikir bakal bikin semua cowok terpesona."

Rio menunggu respon Luna, hingga yang pertama ia dapat adalah pukulan tanpa sesalan di bahunya.

"Aduh." Rio meringis. "Sakit dong, Na."

"Bodo amat! Itu nggak sebanding ya sama Lo yang tiba-tiba aja nyeret-nyeret, dan sok-sokan ngajak pulang bareng."

Ini baru Luna yang sesungguhnya.

"Kan gue udah minta maaf, Na." Rio berusaha membela diri. "Lagian itu juga karena kebetulan ada Lo tadi."

Luna menundukkan kepalanya. Menatap rambut Rio yang selalu berantakan dengan hiasan ikat kepala warna biru terang. Jika dilihat dari dekat, rambut Rio terlihat halus. Belum lagi aroma harumnya yang tanpa ijin memasuki rongga hidung Luna. "Ngeles aja Lo! Nggak ada yang namanya kebetulan ya."

Rio terdiam sejenak, sebelum akhirnya sebuah seringai tercipta di sudut bibirnya. "Berarti kita ketemu itu karena jodoh ya, Na?"

Luna mendesis, sebelah tangannya kembali terangkat dan melayangkan sebuah pukulan di bahu Rio. Lagi.

"Aduh."

"Sembarangan! Amit-amit Ya Allah." Luna menenggadahkan kepalanya ke atas dengan kedua tangan yang masih berpeganggan pada bahu Rio, seolah ia tengah berdoa dan berharap Tuhan mengaminkan.

"Astaga, Na. Gitu amat lo sama gue, kemakan omongan sendiri sukurin!"

"GAK AKAN!"

Rio lebih memilih diam. Fokus mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Walaupun ada Luna yang juga berdiri di atas sepeda kesayangannya, tapi itu sama sekali tidak membuatnya merasakan keberatan. Malahan rasanya seperti ketika ia menaiki sepedanya seorang sendiri.

 BLUE [Completed]Where stories live. Discover now